Menanggapi artikel adek Dwitasari pada tanggal 24/02/12, Cinta Butuh Komitmen? artikel ini tidak bermaksud menggurui, hanya sebagai bahan kontemplasi dari sudut olah pikir yg berbeda. Seperti semua peristiwa yg terjadi di dunia ini selalu memiliki 2 sisi untuk dilihat. Saya memilih untuk melihat dari sisi yg tak terlihat, atau lebih tepatnya, sisi yg orang pada umumnya enggan untuk melihatnya…
Baru-baru ini, di layar kaca, tangisan seorang Julia Perez terlihat memenuhi hampir setiap infotainment. Berita tentang batalnya pernikahan yg sudah dirancangnya dengan striker asing klub penghuni ISL Gresik United, Gaston Castano tak ayal menjadi “santapan” empuk awak media infotainment. “Romeo & Juliet itu cuma kisah di negeri dongeng…” kalimat yg mengawali wawancaranya dengan salah satu media, dan ketika ditanya statementnya tentang Gaston, Jupe kemudian menjawab “saya tetap mencintai dia apa adanya, dengan segala perbedaan yg ada..” menarik untuk dijadikan cuplikan dari seorang Jupe untuk saya pribadi.
Jupe & Gaston adalah salah satu contoh pasangan berbeda suku bangsa, budaya, bahasa, hingga keyakinan. Pasangan lintas benua dengan latar belakang yg sama sekali berbeda ini menerapkan KOMITMEN dalam menjalani hubungan mereka demi menyatukan perbedaan-perbedaan yg ada ke dalam sebuah ikatan pernikahan. Meluluhkan hati ibunda Jupe yg tak kunjung memberi restu pun menjadi masalah yg harus mereka hadapi dalam menjalani KOMITMEN tersebut. Meminjam pemaparan Dwitasari pada artikelnya,
Dalam definisi umum, komitmen adalah memikul resiko dan konsekuensi dari keputusan tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
…mereka hanya berspekulasi untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada di depannya, tanpa kesiapan dan tanpa kesigapan. Itulah hal buruk yang bisa terjadi jika komitmen tak tercipta dalam cinta.
Kalimat ini diyakini “benar” oleh sebagian orang yg menganggap dirinya sudah cukup dewasa (atau mungkin ingin dianggap dewasa?). Hal ini juga pernah terjadi pada saya 2 tahun yg lalu (sekarang umur saya 27), ketika mengharamkan kata “jadian” dalam kamus hubungan cinta saya, dan lebih memilih kata ber-KOMITMEN untuk pasangan saya. Dengan latar belakang pendidikan pasangan yg seorang sarjana Cum Laude dan berprofesi sebagai HRD salah satu perusahaan kopi terbesar di Indonesia saat itu, seakan “menjamin” bawah sadar saya, bahwa kali ini dia adalah orang yg bisa memberi “garansi” dalam menjalani hubungan berbeda keyakinan yg dilandasi KOMITMEN ini. (Setidaknya, tidak terbersit di pikiran saya membeli Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk memberitahunya tentang definisi KOMITMEN).
Itu sebabnya ada komitmen, sebagai jaminan bahwa akan ada perubahan selama seseorang bersama dengan orang yang ia cintai.
Di paragraf pada artikel Dwitasari inilah, KOMITMEN, yg diyakini akan menjamin seseorang untuk berubah, seringkali menemui jalan buntu. Saat dimana relasi antar 2 individu yg berbeda, yg seharusnya melebur aku & kamu menjadi kita, menuntut masing2 pribadi agar mengalahkan rasa ego demi kepentingan bersama, pada akhirnya membawa sepasang insan tersebut berubah pikiran, kembali mempertahankan ego masing2 karena abu-abunya “jaminan” dari pasangannya untuk mengubah pribadinya sesuai dengan KOMITMEN yg disepakati di awal. Terlepas dari bermacam-macam faktor yg mempengaruhinya, KOMITMEN itu sendiri cenderung menggiring kita untuk berharap KEPASTIAN pada sesosok manusia, yg kita semua sepakat, bahwa tak ada manusia yg sempurna. Manusia gudangnya khilaf, baik sadar maupun (seringnya) tidak.
Mengharapkan pasangan kita patuh pada KOMITMEN yg dibuat bersama & niscaya hubungan tersebut akan berjalan baik-baik saja hingga ke pelaminan, ibarat menaiki kapal pesiar paling kokoh & sempurna di dunia, lalu dengan percaya diri mengarungi lautan yg ganas tanpa berpikir sedikitpun bahwa kapal tersebut akan karam, seakan meremehkan dahsyatnya terjangan ombak. Mungkin pada waktu itu, saya masih terlalu naif untuk mengabaikan faktor-faktor yg tak rasional dan hanya percaya bahwa segala sesuatu yg sudah dikonsep sedemikian rupa pada awalnya akan berjalan sesuai rencana. Peristiwa batalnya pernikahan Jupe-Gaston yg sudah melewati serangkaian proses yg melelahkan lahir & batin mereka karena sesuatu hal, gagalnya KOMITMEN sederhana saya dengan pasangan luar biasa saya, seharusnya tak perlu menyisakan drama yg terlalu dalam & membuat seseorang berhenti melanjutkan hidup, apabila kita tak naif untuk mengabaikan hal-hal yg tak logis sebagai faktor yg turut berperan dalam kehidupan kita, yg manusia manapun tak kuasa untuk melawannya.
“JODOH DI TANGAN TUHAN”. Ya, kita sering menafikan jargon tersebut ketika kita sedang menjalin KOMITMEN dengan seseorang yg kita anggap bisa menjamin kelancaran hubungan itu. Menuntut pasangan untuk mematuhi KOMITMEN dengan tanpa cela hingga berujung ke pelaminan dan “menomorduakan” campur tangan sang Pemberi tulang rusuk Adam. Seakan lupa, bahwa kegagalan pernikahan Jupe-Gaston, juga kandasnya hubungan saya, bukan semata hanya karena ketidakmampuan seseorang menjalani KOMITMEN. Memahami cara Tuhan untuk memberi isyarat “BUKAN ITU TULANG RUSUKMU” memang bukan perkara semudah membalik telapak tangan.
Perlu tidaknya KOMITMEN itu diterapkan pada hubungan, pada akhirnya tergantung pada masing2 individu itu sendiri. Cinta itu sendiri sesungguhnya merupakan dorongan alamiah untuk mengasihi, memperhatikan, merawat, membahagiakan, dari seseorang kepada seorang lainnya, dengan interpretasi masing-masing yg tidak mungkin untuk dipaksakan atau disamakan antara satu individu dengan individu lainnya. Memposisikan KOMITMEN diatas segala-galanya & menjadikannya sebagai bentuk KEPASTIAN dalam suatu hubungan, menurut saya yg berniat untuk terus menerus belajar melihat yg “enggan dilihat”, sedikit naif, mengingat bahwa daya tafsir seorang dengan yg lainnya belum tentu sama/seimbang.
Perlukah KOMITMEN untuk Mencintai? Adakah di dunia ini, sesuatu yg bersifat absolut & PASTI?
Wallahualam….