Hari ini, dalam perjalanan pulang dari bersepeda, saya mampir ke lapak tahu sumedang langganan. Kebiasaan makan tahu sumedang di pagi hari sebenarnya karena tahu merupakan camilan yang sangat cocok jika dipasangkan dengan minuman teh hangat. Sudah bertahun-tahun memang saya tidak makan nasi untuk sarapan dan menggantinya dengan makanan ringan seperti tahu, tempe, sosis solo atau camilan sejenisnya.
Tapi hari ini kok agak berbeda. Kebetulan saya sudah langganan beli tahu sumedang di tempat tersebut dan hari ini jumlah tahu yang didapat dengan uang yang sama kok jadi lebih sedikit.Â
Ternyata betul apa yang saya baca di berita, harga kedelai melonjak naik dan berakibat dengan naiknya harga tempe dan tahu sebagai produk olahan kedelai.Â
Lebih menguatkan lagi adalah saat biasanya penjual tahu tersebut bisa berjualan sampai sore, tapi tadi bahkan jam 12.00 saja lapaknya sudah tutup karena stok tahunya sudah tidak ada.Â
Mungkin banyak yg kaget bahwa tahu tempe yang kita nikmati sehari-hari berasal dari kedelai yang merupakan produk impor. Yang nggak percaya hal tersebut berasalan bahwa tahu tempe sudah dimakan oleh bangsa kita sejak jaman indonesia masih dipimpin raja-raja bagaimana mungkin bisa impor?Â
Mereka lupa bahwa jumlah penduduk saat ini juga tidak sesedikit dulu yang artinya sekarang demand lebih tinggi dari supply, di satu sisi lahan pertanian kita semakin menyusut.Â
Kedelai lokal yang ditanam oleh petani kita juga kalah saing dengan kedelai impor karena ukurannya kecil-kecil. Bandingkan saja satu bulir kedelai pada tempe dengan kedelai yang dijual oleh penjual jagung rebus keliling yang biasanya menjual kedelai lokal yang dikukus masih dengan batangnya.
Tapi benarkah harga kedelai naik atau ini hanya akal-akalan pihak tertentu saja?Â
Untuk mencari kebenarannya, bisa dicek sendiri oleh pembaca. Sama seperti harga komoditas yang diperdagangkan antar negara, selalu ada harga acuan yang bisa dicari.Â
Komoditas seperti kedelai hampir sama dengan kopi, cengkeh, coklat dan gandum. Salah satu yang bisa dilihat adalah bloomberg.com yang menyediakan data harga acuan komoditas.
seperti yang terlihat dari data bloomberg di atas, dalam rentang waktu 6 bulan ini saja, harga kedelai sudah melonjak dari sekitar USD 900 menjadi USD 1.300.Â
Selain bloomberg, website lainnya yang mencatat harga komoditas di pasar internasional adalah marketinsider.com tetapi data yang ditunjukkan juga hampir sama seperti di bawah ini
Jika dihitung-hitung, harga kedelai saat ini adalah USD 13,4/bu. Bushel atau "bu" adalah satuan untuk komoditas biji-bijian yang setara dengan sekitar 27,2 kg.Â
Jika dirupiahkan maka menjadi Rp 189.000 per 27 kg atau Rp 7.000/kg. Padahal bulan agustus lalu, harga kedelai masih USD 9,1/bu atau Rp 129.000/ 27 kg. Dalam bahasa yang paling sederhana, hanya dalam kurun waktu Agustus 2020 sampai Januari 2021, harga kedelai melonjak dari Rp 4.700/kg menjadi Rp 7.000/kg.
Penghitungan di atas adalah hanya berdasarkan harga acuan pasar komoditas untuk kedelai. Sedangkan tempe dan tahu masih harus menjalani pengolahan lebih lanjut lagi dan biaya distribusi yang harus ditanggung.Â
Perkiraan kenaikan harga di level konsumen akhir sendiri, harga tempe dan tahu saat ini bisa naik 2x lipat dari sebelumnya. Beberapa artikel media ekonomi seperti S&P Global dan Marketwatch memperkirakan di 2021 ini memang harga kedelai akan mencapai harga tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Efek dari naiknya harga kedelai, tidak hanya dialami Indonesia tetapi negara lain yang juga mengkonsumsi kedelai seperti Jepang (tofu, miso, nato, teriyaki berasal dari kedelai), Korea (Cheonggukjang, Doenjang, Doubanjiang juga berasal dari kedelai). Di Indonesia sendiri, kedelai juga merupakan bahan baku industri kecap, tauco, susu kedelai dan cemilan.
Tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah saat ini karena kedelai adalah komoditas global yang berasal dari luar negeri (impor) jadi harganya pun mengikuti pasaran dunia sama seperti harga minyak bumi.Â
Bahkan sudah sejak lama kedelai impor tidak dikenakan bea masuk.Yang bisa dilakukan adalah menggunakan kedelai lokal yang mungkin juga harganya sebentar lagi naik karena demand nya tiba-tiba melonjak.Â
Menggalakkan penanaman kedelai lokal oleh petani juga membutuhkan waktu beberapa bulan sampai panen dan tentu saja harus banyak subsidi untuk mereka. Iklim di Indonesia sebenarnya memungkinkan untuk menanam kedelai.Â
Saat ini di Jember bahkan ada pertanian Edamame (Kedelai Jepang) yang berorientasi ekspor. Saya pernah membeli produk tersebut saat berada di Malang sebagai oleh-oleh dan jika dibandingkan rasanya dengan Edamame yang saya makan saat berada di Tokyo, juga tidak kalah.
Naiknya harga kedelai di saat ekonomi belum pulih dari covid-19 memang disayangkan. Tetapi saat ini pilihan terbaik adalah mengganti untuk sementara konsumsi kedelai kita dengan produk yang lain.Â
Kedelai bukan satu-satunya kacang-kacangan yang bisa dijadikan tempe. Di jogjakarta ada namanya "tempe benguk" yang berasal dari kacang koro tetapi ditambahkan jamur yang sama dengan jamur tempe.Â
Orang-orang bisa bereksperimen menggunakan jenis kacang lain yang lebih murah untuk membuat varian tempe non kedelai seperti kacang hijau, kacang tolo bahkan mungkin memakai edamame. Atau untuk sementara beralih ke sumber protein lain seperti telur atau ikan yang bisa saja justru lebih murah dari tahu tempe.
Di Jawa ada pepatah "esuk dele sore tempe"Â atau "pagi kedelai sore tempe" merujuk kepada pembuatan tempe yang harus menunggu beberapa lama sampai semua kedelai diselimuti dan terfermetasi oleh jamur. Arti paribahasa tersebut adalah jangan menjadi orang yang pendiriannya mudah berubah ubah.Â
Tetapi di kondisi seperti saat ini tidak ada salahnya untuk sedikit berubah, menjadi kreatif dan adaptif dalam merespon segala hal yang terutama tidak bisa kita kontrol.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI