Menggalakkan penanaman kedelai lokal oleh petani juga membutuhkan waktu beberapa bulan sampai panen dan tentu saja harus banyak subsidi untuk mereka. Iklim di Indonesia sebenarnya memungkinkan untuk menanam kedelai.Â
Saat ini di Jember bahkan ada pertanian Edamame (Kedelai Jepang) yang berorientasi ekspor. Saya pernah membeli produk tersebut saat berada di Malang sebagai oleh-oleh dan jika dibandingkan rasanya dengan Edamame yang saya makan saat berada di Tokyo, juga tidak kalah.
Naiknya harga kedelai di saat ekonomi belum pulih dari covid-19 memang disayangkan. Tetapi saat ini pilihan terbaik adalah mengganti untuk sementara konsumsi kedelai kita dengan produk yang lain.Â
Kedelai bukan satu-satunya kacang-kacangan yang bisa dijadikan tempe. Di jogjakarta ada namanya "tempe benguk" yang berasal dari kacang koro tetapi ditambahkan jamur yang sama dengan jamur tempe.Â
Orang-orang bisa bereksperimen menggunakan jenis kacang lain yang lebih murah untuk membuat varian tempe non kedelai seperti kacang hijau, kacang tolo bahkan mungkin memakai edamame. Atau untuk sementara beralih ke sumber protein lain seperti telur atau ikan yang bisa saja justru lebih murah dari tahu tempe.
Di Jawa ada pepatah "esuk dele sore tempe"Â atau "pagi kedelai sore tempe" merujuk kepada pembuatan tempe yang harus menunggu beberapa lama sampai semua kedelai diselimuti dan terfermetasi oleh jamur. Arti paribahasa tersebut adalah jangan menjadi orang yang pendiriannya mudah berubah ubah.Â
Tetapi di kondisi seperti saat ini tidak ada salahnya untuk sedikit berubah, menjadi kreatif dan adaptif dalam merespon segala hal yang terutama tidak bisa kita kontrol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H