Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Bagaimana Nanti MRT Jakarta Bisa Untung?

30 Maret 2019   19:47 Diperbarui: 31 Maret 2019   04:39 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta Bandara Soetta (dokpri)

Sebuah artikel yang agak membuat tertawa geli belum lama ini saya baca. Ditulis di sebuah media online terkenal, kurang lebih berjudul bagaimana dengan harga tiket MRT yang sekarang, investasi pembangunan MRT baru akan balik modal lebih dari 30 tahun lagi. 

Saya agak geli membaca ini karena meminjam istilah Prof Rhenald Kasali, terjadi gagal paham dari si penulis tentang bagaimana cara menjalankan bisnis. Atau mungkin disengaja untuk menghadirkan berita dengan tendensi tertentu? Entah, saya juga kurang tahu.

Jika saya mau memulai usaha dengan modal Rp 120.000.000 kemudian keuntungan bersih saya per bulan adalah Rp 1.000.000 atau per tahun Rp 12.000.000 maka saya membutuhkan 10 tahun sampai saya balik modal, atau dalam istilah ekonomi disebut Break Event Point (BEP). 

Rata-rata masa BEP usaha yang normal adalah 3 tahun. Tetapi ada juga tipe usaha tertentu yang membutuhkan masa BEP lebih lama bahkan sampai 10 tahun. Jenis perusahaan yang membutuhkan waktu balik modal yang lama adalah perusahaan yang membutuhkan investasi luar biasa besar untuk memulai usahanya seperti perusahaan tambang, jalan tol, atau transportasi.

Betul, MRT Jakarta dibangun dengan modal awal sampai trilliunan rupiah, tetapi jika memang perusahaan seperti ini akan selalu rugi lalu kenapa Singapore, Malaysia, Thailand, Jepang, Filipina, China, semua negara di Eropa dan Amerika memiliki sistem transportasi masal seperti ini dan tetap beroperasi bertahun-tahun?

koleksi pribadi
koleksi pribadi

Belajar Dari Jepang

Jawabannya adalah, walaupun mereka menjalankan bisnis transportasi, mereka tidak hanya mendapatkan penghasilan hanya dari jasa transportasi. Atau dengan kata lain, kuncinya adalah "pendapatan lain-lain". Hampir semua jenis usaha saat ini memiliki pendapatan lain-lain di luar usahanya. 

Jika ada karyawan sekantor bergaji sama tetapi mampu memiliki rumah lebih besar, jangan merasa iri jika selepas selesai jam pulang kantor dia masih mencari uang dengan mencari penghasilan sebagai driver taksi online. Starbucks tidak hanya berjualan kopi tetapi dia hanya juga menjual berbagai mug, tumbler dan sedikit camilan.

Kenapa di bioskop kita dilarang membawa makanan dari luar? Karena bisa jadi keuntungan mereka dari berjualan popcorn, makanan dan minuman bisa 1/3 dari penjualan tiket film itu sendiri. Salah satu terobosan yang dilakukan PT. KAI dari perusahaan yang selalu rugi menjadi menguntungkan seperti sekarang ini adalah pendapatan lain-lain mereka. 

Stasiun dikelola seperti real estate, karena memang selama ini lokasi stasiun selalu di tempat strategis dan dengan banyaknya jumlah penumpang merupakan potensi pasar yang potensial. Stasiun menjadi tempat yang laku untuk disewakan kepada tenant dan menjadi sumber penghasilan yang cukup besar bagi perusahaan.

Di jaman sekarang ini, bisa jadi penghasilan seseorang atau sebuah perusahaan lebih banyak disumbang oleh penghasilan yang bersumber bukan dari core business utamanya, tetapi dari penghasilan lainnya. Mulai dari tukang jahit yang memanfaatkan sisa-sisa kain bekasnya, industri yang menjual mesin yang sudah habis manfaatnya, bank yang porsi pendapatan dari berbagai biaya bulanan dan fee yang mereka kenakan ke nasabah, semuanya merupakan contoh pendapatan lain-lain. 

Bahkan pengusaha warteg dan warung makan juga mendapatkan porsi untung yang lebih besar dari berjualan minuman es teh dan es jeruk selain dari makanannya sendiri.

Kembali lagi ke soal transportasi umum. Memang betul investasi untuk pembangunan kereta itu sangat mahal. Berbeda dengan perusahaan penerbangan yang cukup membeli alat transportasinya saja, sedangkan infrastruktur pendukungnya (bandara) hanya perlu bayar sewa, perusahaan yang berinvestasi dalam transportasi kereta harus ikut membangun jalan dan stasiunnya selain harus membeli rangkaian keretanya.

Ini menjadikan biaya investasi awal perusahaan transportasi berbasis kereta menjadi sangat besar dan waktu balik modal bisa lebih dari 10 tahun. Lalu bagaimana cara menutup semua biaya operasional dan mengembalikan uang modal yang sebagian besar dari pinjaman itu?

Kereta Bandara Soetta (dokpri)
Kereta Bandara Soetta (dokpri)
Baik di Singapura, Bangkok atau Tokyo, sumber pendapatan terbesar perusahaan transportasi berbasis kereta bukan dari tiket tetapi dari pendapatan lainnya yang biasanya terdiri dari penyewaan tenant di stasiun. Ini seperti ruang komersial di stasiun KRL saat ini yang disewakan ke minimarket, cafe, vending machine restoran, ATM dan sebagainya. Hampir tidak ada stasiun di luar negeri yang hanya sebuah stasiun. Bahkan di Jepang banyak stasiun kereta yang lebih mirip "mal yang ada stasiunnya".

Kedua, adalah kontrak dengan perusahaan lain. Seringkali stasiun berada tepat di depan sebuah mal, hotel atau gedung perkantoran dan kadang pihak perusahaan sekitar stasiun bersedia membayar dengan jumlah tertentu agar gedung mereka terhubung dengan stasiun untuk memudahkan mobilitas. Semua stasiun besar di Jepang rata-rata terhubung dengan mal atau pusat perbelanjaan. 

Singapore juga menggunakan cara seperti ini seperti di stasiun yang berada di depan Vivo City. Kadang pihak lain justru membayar agar perusahaan transportasi mau membangun stasiun tepat di depan atau menyatu dengan properti mereka. Saya pernah menginap di Bangkok dengan hotel yang memiliki pintu akses langsung ke stasiun yang menjadi nilai tambah bagi hotel tersebut.

Ketiga adalah melalui iklan. Di dalam kereta, banyak sekali ruang yang bisa dijadikan ruang iklan sama seperti di KRL Jabodetabek. Badan kereta juga bisa dicat dengan iklan seperti Kereta Bandara Soekarno Hatta, dan ini belum termasuk space iklan di dalam stasiun atau tiang-tiang KRL. Silahkan buka website PT. MRT Jakarta, bahkan di website mereka juga ada iklan dari Bukalapak.

Keempat adalah subsidi. Perusahaan transportasi mendapatkan subsidi dari pemerintah kota setempat atau negara. Jika ternyata perusahaan rugi pada akhir tahun juga ada kemungkinan akan disuntik modal tambahan sebagai bagian dari Public Service Obligation dari pemerintah. Bagi yang selalu mengeluh kenapa harus membayar pajak, silahkan renungkan soal ini karena pajak yang dibayarkan sebagian menjadi subsidi transportasi.

Kelima dan kemungkinan merupakan yang terbesar dalam kasus MRT adalah Transit Oriented Development. Perusahaan kereta bawah tanah pertama di dunia, The Metropolitan Railway di London mendapatkan penghasilan dari membeli tanah kosong di sekitar rute baru dan stasiun, membangun properti dan menjualnya dengan brand Metroland pada tahun 1915. 

Jadi kita ketinggalan lebih dari 100 tahun dari Inggris. Metroland mirip dengan konsep LRT City saat ini. TOD merupakan pendapatan terbesar yang direncakan untuk menutup operasional dan biaya investasi. MRT Jakarta hanya bisa sukses jika diberi hak eksklusif untuk mengembangkan properti pendukung di sekitar stasiun seperti membangun apartemen, mal, tempat parkir, hotel dan sebagainya. Ini sudah dilaksanakan untuk LRT Jakarta-Bekasi yang tersambung dengan beberapa apartemen dan mal di Bekasi Timur.

Semuanya merupakan penghasilan lain yang akan menunjang operasional MRT saat pendapatan dari tiket tidak mencukupi. Tetapi apakah dengan semua penghasilan tersebut perusahaan transportasi bisa untung? Tidak juga. Perusahaan transportasi tetap bisa rugi. 

Tergantung bagaimana kreatifitas dan strategi yang digunakan. Perusahaan pemilik jaringan kereta Shinkansen di Jepang juga pernah bangkrut dan pada akhirnya dijual ke swasta tetapi karena asetnya terlalu besar akhirnya dipecah menjadi enam perusahaan supaya harga jual perusahaanya bisa lebih terjangkau menjadi JR Hokkaido, JR East, JR Central, JR West, JR Shikoku dan JR Kyushu. Baru setelah dikelola swasta, jaringan kereta shinkansen bisa untung dan berkembang.

Ada juga pihak yang merasa nasib MRT bisa seperti LRT Palembang dan Kereta Bandara Soetta yang masih sepi penumpang dan akan membebani pemerintah setempat jika harus terus memberikan subsidi. Untuk soal ini, membentuk budaya menggunakan transportasi umum memang tidak bisa cepat dan instan. KRL Jabodetabek bisa menjadi salah satu contoh. 

Begitu stasiun dibuat modern, aman dan nyaman, tiket bisa menggunakan eMoney, peminatnya semakin meningkat. Berbeda dengan Palembang yang awalnya tidak mengenal budaya menggunakan kereta dan tiba-tiba dikasih LRT, di Jakarta orang sudah terbiasa dengan KRL Komuter Line. 

Untuk Kereta Bandara Soetta karena stasiunnya saat ini belum sampai ke Stasiun Manggarai (yang akan diposisikan seperti stasiun KL Central di Kuala Lumpur), jadi belum tersambung dengan angkutan umum lainnya. 

Harga tiketnya yang hanya ekonomis jika bepergian sendiri (Rp 100.000), juga jadi pertimbangan. Jika 3 orang menggunakan kereta bandara, maka justru naik taksi lebih murah dan nyaman karena ongkos naik taksi juga Rp 300.000.

Mengingat Kembali Awal-Awal Transjakarta

Sama seperti kehadiran MRT, Transjakarta (atau Busway) yang meniru konsep TransMilenio di Bogota Colombia, juga dicibir di saat awal dicanangkan. Mulai dari anggapan bahwa nggak akan laku karena masyarakat susah diajak beralih dari kendaraan pribadinya, isu lingkungan karena mengorbankan pohon untuk jalur baru, tuntutan hukum dari warga sekitar yang tidak mau lingkungan mereka dilewati Transjakarta dan sebagainya. Saat awal-awal Transjakarta orang juga pesimis, tetapi kondisi sekarang bisa membuktikan.

Dan perlu diingat juga, keuntungan ekonomi tidak selalu dalam bentuk pendapatan. Berkurangnya polusi dari penggunaan kendaraan pribadi yang beralih ke MRT dan transportasi umum lainnya, masyarakat yang semakin sehat karena mulai lebih banyak berjalan kaki, perusahaan kontraktor lokal yang kini punya portofolio membangun kereta bawah tanah bisa memenangkan tender proyek di luar negeri, dan sebagainya. Ekonomi selalu memiliki multiplier effect yang mungkin susah dipahami, tetapi bisa terlihat manfaatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun