Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Gempa Palu dan Pelajaran tentang "Cashless Society"

12 Desember 2018   21:01 Diperbarui: 13 Desember 2018   11:10 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petang itu, Jumat 28 September 2018, terjadi gempa yang benar-benar bisa diartikan membuat Kota Palu menjadi dalam status shutdown. Bukan hanya (hampir) seluruh akses ke luar dan menuju kota menjadi lumpuh, tetapi juga listrik dan komunikasi yang bisa membuat manusia abad 21 kembali ke zaman batu.

Bandara ditutup karena menara ATC-nya hancur. Pelabuhan rusak karena diterjang tsunami, dan kondisi kotanya sendiri yang kebetulan berada di teluk seperti huruf U tidak memungkinkan jalan menuju luar kota untuk dilewati karena juga masih banyak sisa-sisa puing akibat tsunami. 

Bagi yang selamat dari bencana harus menghadapi kondisi yang tidak kalah sulit seperti pemadaman listrik, komunikasi, dan matinya aktivitas ekonomi. Soal ini, yang paling merasakan efeknya adalah tentu saja generasi muda yang sejak lahir sudah terbiasa hidup dengan listrik dan gadget yang selalu bisa diandalkan untuk tersambung internet 24 jam, tiba-tiba harus kehilangan semua "kemewahan" itu dan menjadi terputus dengan siapapun. 

Generasi muda atau milenial adalah generasi yang lahir dan besar saat kondisi negara ini sudah sangat nyaman dengan berbagai fasilitas. Begitu nyamannya sampai bisa dibilang terlalu "tergantung" dengan semua kemudahan kemajuan teknologi dan ekonomi abad 21.

Jika Kompasianer saat ini berumur 20-40 tahun dan sudah bekerja, berapa persen sih dari kita yang sering memegang uang tunai? Begitu transferan gaji masuk, uang di rekening mungkin akan dibiarkan di sana dan diambil seperlunya.

Mengapa? Sebab pembayaran tagihan, beli pulsa (listrik, hp), mengisi saldo eMoney (TapCash, atau Gopay dan OVO), makan di restoran dan belanja online atau minimarket bisa dilakukan langsung melalui kartu atau smartphone tanpa perlu menarik terlebih dulu uangnya dalam bentuk tunai.

Begitu dimanjakannya kita (termasuk saya) dengan kemudahan itu sampai kita tidak sadar bahwa uang dalam rekening tersebut hanya sekedar data digital yang bisa di kirim ke manapun, seperti mengirim foto lewat whatsapp.

Uang hampir sama seperti file tugas kuliah berbentuk Word berekstensi .docx. Bagi Kompasianer yang pernah merasakan file tugas kuliahnya rusak karena laptopnya eror, kena virus, atau tidak bisa dinyalakan sama sekali, bisa membayangkan rasanya jika data uang kita tersebut tidak bisa diakses? Karena seperti itulah yang terjadi di Kota Palu saat bencana gempa terjadi.

Lumpuhnya Sistem Perbankan
Gempa membuat jaringan listrik seluruh kota menjadi padam. Hal ini ini juga membuat semua mesin ATM menjadi mati total dan diperparah dengan tanggal terjadinya gempa bertepatan dengan "tanggal tua" plus hari Jumat, di mana dua hari ke depan praktis tidak ada bank yg buka.

Silakan bayangkan jika Kompasianer pada dasarnya memiliki uang di bank tetapi tidak bisa mengambil dan menggunakan uang tersebut karena tidak ada yang bisa digunakan untuk menarik uang miliki kita sendiri tepat pada kondisi di mana uang paling dibutuhkan.

Untungnya pemerintah bergerak cepat dan hal pertama yang dipulihkan tentu saja transportasi, komunikasi, dan listrik. Begitu listrik menyala keadaan berangsur-angsur membaik. Tetapi kejadian ini memberikan pengalaman tentang tren ekonomi kita di masa depan yang akan bergerak menuju arah cashless society.

Ekonomi Tanpa Uang Tunai
Tidak hanya di Indonesia, hampir semua negara saat ini sedang menuju yang disebut dengan cashless society. Dan salah satu negara yang terdepan dalam menerapkannya adalah China dengan AliPay dan WechatPay-nya.

Di Amerika yang paling terkenal adalah Paypal dan Apple Pay dan untuk Indonesia sendiri banyak sekali cara untuk konsumen melakukan pembayaran tanpa uang tunai mulai dari transfer antar bank atau virtual account, buku cek, kartu debit dan kredit (visa-mastercard-GPN), eMoney dalam bentuk kartu (Brizzi-Tapcash-eTollcard), eMoney dalam bentuk aplikasi (GoPay-OVO-Tcash-DANA).

Begitu banyaknya pilihan karena Bank Indonesia saat ini sedang menggalakkan GNNT atau Gerakan Nasional Non-Tunai yang dimulai sejak 14 Agustus 2014.

Less Cash Society vs Cashless Society
Kejadian lumpuhnya perbankan di Kota Palu menunjukkan betapa rentannya sistem keuangan saat ini. Untungnya hal tersebut hanya terjadi selama tiga hari sehingga di hari keempat masyarakat sudah bisa menggunakan mesin ATM dan menggunakan uangnya untuk memutar roda perekonomian kembali.

Tetapi apa yang terjadi jika hal tersebut terjadi secara nasional? Dan lebih dari seminggu misalnya? Apa yang terjadi jika detik ini juga Kompasianer tidak bisa menarik uangnya di Bank maupun menggunakannya sama sekali untuk satu minggu ke depan? Berapa uang tunai yang ada di dompet saat ini? Cukupkah?

Walaupun banyak ekonom (dan bankir) lebih senang dengan konsep 100% non tunai, tetapi banyak juga yang berharap kalau uang tunai jangan sampai hilang sama sekali. Dengan pembayaran non tunai, semua transaksi perpindahan uang bisa dilacak, bagi sebagian orang ini dianggap menghilangkan privasi tapi bagi yang lain menganggap pembayaran non-tunai mempersempit peluang terjadinya korupsi, kriminal, atau penghindaran pajak. 

Pembayaran non-tunai memang memiliki berbagai kelebihan. Untuk apa menerima uang tunai dari konsumen dan mengumpulkannya sampai akhir bulan kemudian menyetorkannya ke bank jika konsumen dapat langsung mengirimkan uang tersebut langsung ke rekening kita?

Tetapi skenario lumpuhnya sistem ekonomi suatu negara bukan suatu hal yang mustahil, misalnya jika terjadi perang, kerusakan, atau bencana. Seperti halnya mencegah file tugas kuliah hilang, mencegah data uang kita hilang bisa dilakukan dengan melakukan backup.

Backup tersebut bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti menyimpan uang tidak hanya di satu bank, menyimpan kekayaan dalam bentuk non-tunai seperti emas, perhiasan, atau properti dan mungkin sediakan sejumlah uang tunai yang cukup untuk kondisi-kondisi darurat.

Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi jika mengingat kebiasaan kita kehilangan semua hal-hal yang bersifat digital seperti foto, maupun file-file penting, jangan sampai hal tersebut terjadi juga dengan "uang digital" milik kita.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun