Hari itu di Sapporo suhunya mencapai -7 derajat celsius pada jam 12 siang. Memang cuacanya sangat dingin, dan karena itulah sangat cocok untuk mengadakan "ice festival". Tapi buat orang tropis seperti saya, ingin rasanya di cuaca seperti ini minum segelas coklat panas atau menyantap makanan berkuah yang mengenyangkan dan bisa menghangatkan perut.Â
Akhirnya setelah puas menikmati festival, saya berkeliling area stasiun Sapporo untuk mencari makan siang. Tapi setelah melihat beberapa tempat, kok rasanya tidak ada yg cocok dengan budget di kantong. hehe. Maklum. Jalan-jalan ala ransel seperti ini harus sadar dompet. Harga makanan di Jepang memang jauh lebih mahal dibanding di Indonesia. Onigiri (atau nasi kepal) adalah makanan termurah itupun dengan harga sekitar 110 yen (Rp 15.000 an). Di Indonesia duid segitu jelas bisa puas makan kenyang di warteg.
Lagipula selain soal harga, rasanya kalo tidak mencoba sesuatu yang unik itu kurang menarik. Makanan macam onigiri, sushi, bento, steak, ramen atau udon sudah banyak bertebaran di Indonesia. Jadi kali ini saya benar-benar ingin mencari sesuatu yg agak berbeda untuk makan siang.
Pas lagi keliling-keliling nggak jelas di stasiun, akhirnya nemu tempat makan yang judulnya menarik. "Sobaru Standing Soba & Bar" namanya. Saya memang pernah membaca kalau di Jepang banyak hal nggak lazim (seperti hotel kapsul) dan restoran sambil berdiri, tapi baru kali ini melihat secara langsung.Â
Cara memesannya pun unik. Mereka memajang foto menu di bagian luar resto dan mencantumkan harganya (dan untungnya juga dalam bahasa inggris). Setelah memutuskan mau pesan apa, kita tinggal memasukkan uang sesuai harga ke dalam sebuah mesin mirip "vending machine" minuman yang ada dimana-mana, dan mesin itu akan mengeluarkan semacam tiket. Nah tiket ini kita bawa masuk ke dalam, lalu berikan ke pelayan. Dalam sekejap, makanan kita akan tersaji dan kita bisa menikmatinya, SAMBIL BERDIRI. Hehe.
Memang sih, ada beberapa artikel yg menulis bahwa makan sambil berdiri itu kurang bagus. Kalau di negara lain kita tidak bisa mengatakan kurang sopan karena sopan disana dan disini bisa sangat berbeda. Tetapi belum ada bukti medis mengenai kerugian makan sambil berdiri. Toh di Indonesia pun, pesta perkawinan kebanyakan dilakukan secara "standing party". Jadi makan sambil berdiri bukan hal baru lagi.
Dengan menyingkirkan kursi, hanya dibutuhkan space kecil untuk membuka resto seperti ini. Artinya biaya sewa tempat bisa ditekan dan harga makanannya bisa lebih murah. Selain itu pelanggan tidak akan berlama-lama di resto sehingga perputaran pelanggan bisa terjadi lebih cepat. Gaya restoran seperti ini memang sangat praktis, dan kebanyakan konsumennya pun adalah pekerja kantoran yang harus cepat-cepat kembali bekerja.
Ciri khas lainnya adalah menunya yang hanya satu. Standing resto yang saya kunjungi hanya menyajikan satu menu yaitu soba. Pelanggan hanya perlu memilih mau soba dengan topping apa. Jadi makanan akan langsung tersaji kurang dari 3 menit. Nilai plusnya adalah, kita mendapat minuman gratis yang bisa di refill berapa kalipun kita mau.
Jadi standing restaurant seperti ini benar-benar praktis, murah dan saya dapat pengalaman unik yang tidak ditemukan di tempat lain. Hehe.
Tertarik untuk mencoba?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H