Lalu?
Nah, sebagai masyarakat awam, kira-kira adil atau tidak jika berbagai penghasilan yang sifatnya passive income dikenakan pajak lebih tinggi karena lebih minim resiko?
Royalti, tidak hanya merupakan domain seni saja. Bukan hanya penulis, penyanyi, fotografer yang menerima royalti. Tetapi perusahaan atau pengusaha pun mendapatkan royalti atas paten atau copyright yang mereka miliki. Brand "Eiger" misalnya yang merupakan produk asli Indonesia. Jika ada perusahaan tas ingin membuat produk bermerek "Eiger", perusahaan tersebut harus membayar royalti kepada pemilik asli yang telah mendaftarkan "Eiger" sebagai merek dagangnya. Royalti bisa dibayar dalam bentuk kontrak, atau pembagian keuntungan berdasarkan jumlah barang yang terjual.
Jadi membuat buku yang berkualitas, dan laku di pasaran, memberikan penulisnya kesempatan mendapatkan uang yang mengalir dengan sendirinya dalam bentuk passive income. Janganlah dibandingkan dengan UKM penjual HP di ruko-ruko yang masih harus berpikir supaya dagangannya laku. Jika lakupun, tidak bisa semena-mena meninggikan harga karena pelanggan bisa lari ke toko sebelah.
Mendapatkan royalti ibarat memilki aset. Seperti pemilik kos-kosan yang hanya tinggal menerima uang bulanan kos yang dibayar penghuninya saja. Sedangkan penulis, aset yang paling berharga adalah kreatifitasnya, kemampuan berkaryanya, yang sebenarnya tidak ternilai dengan uang. Bangunan suatu saat akan hancur jika tidak dirawat. Tetapi kreatifitas tidak akan pernah usang, selama karya-karya berkualitas terus dibuat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI