Mohon tunggu...
Engkos Koswara
Engkos Koswara Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah/ SMA Negeri Situraja

Semakin Berisi Semakin Merunduk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mewariskan Cagar Budaya

8 Juni 2023   08:18 Diperbarui: 8 Juni 2023   08:29 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya awali tulisan ini dengan peribahasa yang barang tentu tidak asing lagi di telinga kita, menjadi kata-kata yang selalu diulang-ulang ketika seorang guru sejarah mendidik murid-muridnya, kurang lebih seperti ini pepatahnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. 

Saya pribadi mengakui jika memang benar harus seperti itu, saya sepakat karena tidak mungkin suatu bangsa dapat menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia tanpa ia mengenali, memahami, bahkan mengambil pelajaran dari sejarah bangsanya sendiri. 

Dewasa ini mari kita tegaskan jika di zaman sekarang bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melanjutkan kejayaan bangsanya seperti apa yang dicita-citakan para pendahulunya, bukan hanya sekedar menghargai tapi melakukan aksi nyata. Bung Karno pun sang proklamator kemerdekaan republik ini pernah berkata jika bangsa Indonesia jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah atau biasa kita kenal dengan istilah jasmerah. 

Pembelajaran sejarah sendiri sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar secara tematik, kemudian secara terpadu menjadi ilmu pengetahuan sosial di sekolah menengah pertama, dan menjadi mata pelajaran khusus di sekolah menengah atas. 

Pelajaran sejarah dari zaman ke zaman mengalami tantangan yang saya anggap semakin berat. Image sejarah yang membosankan, ngantuk, gagal move on dan hal-hal negatif lainnya menjadi stigma yang melekat di sebagian besar siswa kita.

 Oleh karena itu dibutuhkan pengemasan pembelajaran sejarah yang menyenangkan, dekat dengan siswa, dan tentunya membuat siswa tergugah untuk peduli akan sejarahnya. 

Pembelajaran sejarah sendiri tentunya bisa kita lakukan tidak hanya di dalam kelas saja, karena kalau kita hanya terpaku di dalam kelas tentunya siswa akan merasa jika sejarah hanya berbicara tetang ceramah, tentang buku-buku tebal, dan tentang peristiwa yang sudah pasti tidak pernah mereka ketahui bahkan mereka alami. 

Sehingga model pembelajaran di luar kelas bisa digunakan sebagai solusi dari problema yang mengemuka tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Sudjana dan Rivai (2013, hlm. 208) jika guru dan siswa bisa mempelajari keadaan sebenarnya di luar kelas dengan menghadapkan para siswa kepada lingkungan aktual untuk dipelajari, diamati dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar, maka pembelajaran akan lebih mudah dipahami. 

Pembelajaran sejarah di luar kelas akan lebih konkret apabila siswa diajak untuk melakukan site tours ke situs-situs bersejarah di daerahnya. Berkunjung ke tempat bersejarah atau melihat langsung benda-benda tinggalan purbakala yang disebut cagar budaya. 

Dalam UU No. 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang melalui proses penetapan (kebudayaan.kemdikbud.go.id).

Secara nasional sedikitnya ada 13 warisan milik Indonesia yang telah dicatat UNESCO menjadi Warisan Dunia (The World Heritage). Ke-13 warisan itu dikelompokkan dalam tiga kategori berbeda, yaitu warisan alam, cagar alam atau situs, dan karya tak benda. 

Untuk warisan alam Indonesia yang sudah diakui dunia ada empat. Yaitu Taman Nasional Ujung Kulon, Banten yang diakui pada tahun 1991, Taman Nasional Komodo, di Nusa Tenggara Timur yang diakui pada tahun 1991, Taman Nasional Lorentz di Papua yang diakui tahun 1999, dan hutan tropis Sumatera yang mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan, yang diakui tahun 2004.

Sedangkan warisan berupa bangunan cagar alam di Indonesia, sudah ada tiga tempat yang diakui UNESCO. Di tahun 1991, dua candi terbesar di Pulau Jawa yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan diakui oleh UNESCO. 

Kemudian di tahun 2004, Situs Manusia Purba Sangiran kembali diakui oleh UNESCO. Kemudian, untuk budaya tak benda milik Indonesia yang sudah dan akan diakui UNESCO, yakni wayang di tahun 2003, keris diakui tahun 2005, batik pada tahun 2009, angklung pada tahun 2010, Tari Saman pada tahun 2011 lalu, subak yang akan dikukuhkan sebagai warisan dunia menurut UNESCO pada Juni 2012. Kemudian kain Noken khas Papua kembali mendapat pengakuan dari UNESCO (www.merdeka.com).

Kondisi di daerah tentunya beragam terkait pendataan, pemeliharaan, dan pelestarian cagar budaya tersebut. Tidak jarang kita temui banyak bangunan cagar budaya atau diduga cagar budaya beralih fungsi menjadi pertokoan, pasar, rumah pribadi, bahkan restoran. 

Hal ini menjadi dilematis, karena selama bangunan tersebut belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun dunia. Apalagi belum sekali pun didaftarkan sebagai benda cagar budaya. Pihak pemilik bangunan tersebut berhak melakukan apapun terkait pengelolaan maupun pemanfaatan bangunan, struktur, atau benda tersebut.

Kepedulian masyarakat umum terhadap bangunan maupun benda-benda cagar budaya ditambah dengan peran aktif pemerintah dalam memfasilitasi program pendataan, pengajuan, penetapan, dan pemeliharaan banguanan, struktur, dan benda cagar budaya adalah harga mati. Untuk apa? Ini semata-mata untuk mewariskan bukti-bukti sejarah pada generasi mendatang, anak cucu kita, para pelajar, dan masyarakat secara umum. Karena dengan adanya bukti sejarah kita akan lebih paham tentang sejarah, lebih memaknai, serta lebih peduli dengan sejarah itu sendiri. 

Semua elemen masyarakat harus peduli tentang kelestarian dari cagar budaya di wilayahnya. Pemerintah, swasta, maupun masyarakat lainnya harus menjadi bagian utuh dari upaya ini. Sehingga para generasi muda, khususnya pelajar akan memperoleh pengalaman berharga dari bukti-bukti sejarah yang ada tersebut. 

Generasi muda yang sebelumnya menganggap jika cagar budaya adalah benda-benda kuno yang tidak ada artinya, tidak berarti dalam hidupnya, akan berubah pandangannya. Pemanfaatan benda cagar budaya menjadi sarana lain yang menunjang kehidupan, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Selama tetap mempertahnkan unsur orisinalitas dari banguanan atau benda cagar budaya tersebut hal tersebut sah-sah saja untuk dilakukan.

Cara ini akan terasa lebih bermakna disebabkan para siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya mereka alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan. 

Membawa para siswa keluar kelas dalam rangka kegiatan belajar tidak terbatas oleh waktu. Artinya tidak selalu bisa diperkiranakan, bisa saja dalam satu atau dua jam bahkan bisa saja lebih tergantung kepada apa yang akan dipelajarinya dan bagaimana cara mempelajarinya. Dimana pengemasannya bisa dengan survey, kemping atau berkemah, karyawisata, dharmawisata sampai praktek lapangan. 

Saya sendiri punya gagasan dimana pembelajaran sejarah yang nyata bagi siswa ini bisa diwadahi oleh suatu komunitas peduli kesejarahan yang tentunya dilegalkan dipersekolahan dalam bentuk estrakulikuler. Dengan begitu siswa akan diwadahi minatnya dalam bidang sejarah untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya, benda-benda tinggalan purbakala, sampai untuk melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh sejarawan dan budayawan setempat.

  Edgar Dale (Dimyati dan Mudjiono, 2013, hlm. 45) mengemukakan jika belajar haruslah dilakukan sendiri oleh siswa, belajar adalah mengalami, belajar tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Edgar Dale sendiri dalam pengelompokkan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. 

Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekedar mengamati secara langsung saja tetapi ia bisa menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. 

Sebagai contoh seorang yang membuat tempe yang paling baik adalah ia bisa terlibat langsung dari pembuatan (direct performance) bukan sekedar melihat bagaimana orang membuat tempe (demonstrating) apalagi kalau hanya sekedar mendengar orang bercerita bagaimana cara pemuatan tempe (telling). 

Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan learning by doing (Dimyati dan Mudjiono, 2013, hlm. 46). Belajar sebaiknya dialami melalui pengalaman langsung. 

Belajar harus dilakukan secara aktif, baik individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah (problem solving). Dimana guru harus bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator. Hal ini akan selaras dengan proses pembelajaran yang diharapkan dari kurikulum 2013 sebagai kurikulum yang hari ini telah diterapkan di Indonesia, dimana dalam prosesnya siswa diharapkan mampu untuk mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasikan, mengkomunikasikan, dan mencipta. 

Saya secara pribadi meyakini jika dengan menggunakan wadah berupa ekstrakulikuler kesejarahan, maka para siswa akan memiliki waktu lebih untuk bisa mengenali, memahami dan memaknai sejarah dan cagar budaya. Karena dengan waktu yang leluasa diluar jam pelajaran siswa bisa diarahkan untuk melakukan eksplorasi langsung ke tempat-tempat bersejarah di lingkungan sekitarnya. Sehingga kembali lagi diharapkan bisa mendekatkan pembelajaran sejarah ini dengan dunia nyata dari siswa tersebut. 

Pengemasan dari ekstrakulikuler ini bisa dilakukan dengan menunjuk tim dari guru-guru sejarah yang ada di sekolah tersebut untuk menjadi pembina dari komunitas kesejarahan ini sebagai langkah awalnya. 

Kemudian setelah terbentuk pembina, maka langkah selanjutnya adalah mengeluarkan surat keputusan dari kepala sekolah akan legalitas dari ekskul ini. Langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi sekaligus rekruitmen dari siswa-siswi yang memiliki ketertarikan akan mata pelajaran sejarah, bisa atas rekomendari guru atau bersifat rekruitmen terbuka. 

Setelah itu mulai merencang kepengurusan dari siswa sendiri, sehingga komunitas ini dijalankan lebih utama oleh siswa secara aktif. Tetapi, tidak menutup kemungkinan jika apabila dibutuhkan, guru bisa mengajukan untuk mendatangkan ahli sejarah atau ahli budaya dari luar sekolahnya. 

Hal ini supaya pembelajaran sejarah tersebut lebih bermakna dan lebih komprehensif tidak hanya disampaikan oleh guru yang bersangkutan yang tentunya sudah pasti sering mereka temui di dalam pembelajarn di kelas. Dengan begitu akan menimbulkan nuansa belajar yang berbeda kepada siswa.

Adapun untuk para pemateri atau narasumber bisa mengundang dari komunitas-komunitas lain di kabupataen/kota sekolah tersebut, para tokoh-tokoh sejarawan lokal, bahkan bisa saja sharing dengan mahasiswa-mahasiswi di lingkungan sekitar, lebih khususnya yang mengambil konsentrasi di bidang keilmuan sejarah atau pendidikan sejarah. 

Dengan begitu sekali lagi, pembelajaran sejarah akan lebih variatif, tidak monoton di dalam kelas saja tetapi memberikan kesan yang berbeda kepada para siswa yang tergabung di dalam eksul tersebut. 

Untuk pola kegiatannya sendiri, untuk awal-awal bisa dilakukan dengan cara ekskursi ke tempat-tempat bersejarah di lingkungan sekitar sekolah, lalu meningkat ke lingkungan kabupaten/kota dan apabila memungkinkan ke luar kota. Siswa atau anggota ekskul ini diajak untuk berpetualang, menjelajah, bahkan adventure secara menyenangkan.

Untuk konten materinya pun tidak akan jauh dengan konten sejarah lokal, tetapi tidak menutup kemungkinan ada juga tinggalan-tinggalan atau peristiwa di lingkungan sekitar sekolah tersebut yang masuk ke dalam kategori sejarah nasional. Tetapi pada umumnya pasti akan dihadapkan pada sejarah lokal di wilayah tersebut. Ini akan menjadi tantangan juga bagaimana fasilitator disini mengintegrasikan dan menghubungkan sejarah local dengan materi pembelajaran sejarah di persekolahan yang biasanya didominasi oleh sejarah nasional saja. 

Sebagai contoh apabila sedang membahas terjadinya revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, di Jawa Barat sebagai contohnya mengalami revolusi fisik seperti halnya di wilayah-wilayah lainnya. Seperti di Bandung, Karawang, Sumedang, dan lain-lain. Pastinya peristiwa sejarah akan revolusi fisik tersebut ada di daerah, di Sumedang terdapat pertempuran 11 april misalnya, dan di beberapa wilayah lainnya pun ada. Atau apabila kita mundur ke belakang dalam kaitanya dengan dunia pendidikan. 

Tentunya di setiap daerah bisa ditelusuri bukti-bukti peninggalan sekolah pada masa kolonial misalnya, baik itu HIS, MULO, HBS, dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya pada tahun 1914 didirikan juga sekolah MULO-HIS yang merupakan sambungan dari Sekolah Rendah Belanda (Agung dan Suparman, 2012, hlm. 25). Di Bandung sendiri terdapat peninggalan sekolah-sekolah zaman kolonial yang masih tersisa seperti bangunan SMPN 1 Bandung, SMAN 3 dan SMAN 5 Bandung, dan lain sebagainya. Sehingga objek tujuan yang bisa didatangi oleh siswa begitu beraneka ragam. 

Memang kesulitan yang akan timbul apabila kita mau menekankan pengajaran sejarah lokal ialah bagaimana mengintegrasikan pengajaran sejarah lokal itu dalam kurikulum yang belaku sekarang (Widja, 1991, hlm. 122). Untuk itu diperlukan solusi supaya hal ini bisa teratasi salah satunya dengan kegiatan penjelajahan lingkungan. 

Disini sudah ada usaha memberi porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar siswa dengan aktivitas kesejarahan di luar kelas, diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk mengamati langsung sumber-sumber sejarah serta mengumpulkan data sejarah. 

Aspek-aspek yang diamati kadang-kadang tidak semata-mata berupa sejarah dalam artian urutan peristiwa, tapi juga berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti masalah geografi, sosial, ekonomi, folklore, pertanian, dan sebagainya. Selanjutnya bisa juga dikemas dalam bentuk studi kasus kesejarahan di lingkungan sekitar siswa. 

Dimana siswa diharapkan mampu menerapkan prosedur dalam penelitian sejarah, mulai dari pemilihan topik, membuat perencanaan kegiatan, membuat analisa, sampai pada penyusunan hasil studi. 

Dengan begitu diharapkan ada bukti nyata berupa tulisan siswa atau anggota dari ekskul kesejarahan ini dalam kegiatan yang ia lakukan tersebut. Hal ini semata-mata untuk lebih menggali sejarah dari lingkungan terdekat. Dengan semua tantangannya hal ini adalah suatu perjuangan yang membutuhkan kontribusi dari semua elemen yang ada. Sehingga belajar sejarah melalui peninggalan berupa cagar budaya akan lebih bermakna.

Sumber Referensi:

Agung, L dan Suparman, T. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.

BPCB Gorontalo. 2014. Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Diakses dari: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/2014/06/05/undang-undang-no-11-tahun-2010-tentang-cagar-budaya-pdf/

Dimyati dan Mudjiono. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Harahap, L. 2012. Daftar Warisan Indonesia yang Diakui UNESCO. Diakses dari: https://www.merdeka.com/peristiwa/daftar-warisan-indonesia-yang-diakui-unesco.html

Sudjana, N dan Rivai, A. 2013. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Widja, I. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Angkasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun