Mohon tunggu...
Kosmas Mus Guntur
Kosmas Mus Guntur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis

Menjadi aktivis adalah panggilan hidup untuk mengabdi pada kaum tertindas. Dan menjadi salip untuk menebus Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parpol dan Politik Akumulasi Kapital

17 Desember 2021   05:35 Diperbarui: 17 Desember 2021   05:49 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bangunan demokrasi dan sistem politik kita sangat berwatak kapitalistik dan pragmatis. Merobohkan nilai-nilai keadilan dan semangat kebaikan bersama dari demokrasi. 

Pelakunya tidak lain adalah Partai Politik (Parpol) yang sibuk mengakumulasi kekuasaan dengan meminta pertolongan para pemilik modal. Tak heran jika kekuasaan diraih yang dilayani adalah pemilik modal, atau melalui kekuasaanya ia mengakumulasi kapiatal, baik untuk kepentingan dirinya, golonganya dan partai politiknya.

Secara teori, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan konsntitusional maupun nonkonstitusional. Disatu sisi, politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda antara lain; politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Aristoteles). 

Dalam teori politik juga, menunjukan kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan ada tiga sumber kekuasaan. Pertama, dari perundang-undangan yakni kewenangan. Kedua, kekerasan seperti penguasaan senjata. Ketiga, dari kharisma.

Dewasa ini politik kita di Indonesia bahkan diberbagai negara lain telah mengalami transformasi yang sangat mendasar. Dunia politik yang selama ini telah dimonopoli oleh para elit politik telah bergeser menjadi konsumsi publik. Hal ini ditunjukan dengan semakin tingginya partisipasi masyarakat.

Partisipasi politik juga tidak hanya terefleksikan dalam bentuk partisipasi menyuarakan atau proses pemberian suara pada pemilihan umum (pemilu) saja, akan tetapi juga dalam semua usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik. Sehingga bentuk partisipasi politik dapat berupa pengerahan massa, pemonggokan, demonstrasi dan bentuk-bentuk protes lainnya.

Melalui tulisan ini, penulis hendak menelisik geliat savari partai politik untuk membangun sebuah sistem kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Kemudian, bukan pula upaya menggiring opini publik. 

Lebih pada melihat genitnya partai-partai yang tidak menang dalam pertarungan politik dan berupaya untuk tetap meraih kekuasaan, begitupun sebaliknya partai-partai yang memenangkan pertarungan politik berupaya membangun sebuah sistem untuk tetap mempertahan kekuasaan.

Partai politik adalah sebuah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan umum. Defenisi lainnya adalah kelompok yang terorganisisr yang anggotanya-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Selain itu, bisa juga dikatakan perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan bidang politik. 

Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan jumlah anggotanya. 

Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Prakmatisme Politik

Dunia politik adalah sarat dengan diskursus tentang bagaimana untuk berkuasa, sekaligus mengabaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Sehingga tidak heran untuk mempertahankan kekuasaan inilah "rakyat menjadi korban politi". Benar bahwa rakyat sebagai legitimasi untuk kekuasaan penguasa, baik eksekutif maupun legislatif. 

Namun, kenikmatannya hanya untuk segelintir rakyat yang juga sebagai penyokong dana kampanye yakni; investor atau pemodal lebih tepatnya "kaum kapitalis".

Sistem demokrasi kapitalis inilah yang kemudian melanggengkan niat penguasa (partai politik) Eksekutif dan Legislatif. Maka buktinya mereka benar-benar melayani rakyat mungkin hanya secuil saja, selebihnya pengabdian dan dedikasi mereka kepada para pemodal (kapitalis) bukan lagi untuk melayani kebutuhan rakyat.

Dalam pragmatisme politik yang menjadi penting adalah kekuasaan. Sehingga partisipasi politik hanya manifestasi dari keinginan untuk berkuasa. Idealnya, berkuasa hanyalah media anatara yang menjadi sarana untuk dapat menciptakan tatanan masyarakat yang ideal, sesuai dengan nilai dan faham yang dianut oleh partai politik. Karena dorong berkuasa begitu kuat, "kekuasaan" menjadi tujuan akhir dari berpolitik. 

Sementara mereka yang belum memenangan Pemilu akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat meraih dan atau "menikmati" kekuasaan. Sebaliknya mereka yang sedang berkuasa akan mati-matian untuk mempertahankan kekuasaan.

Disisi lain juga, penulis menilai demi untuk mempertahankan kekuasaan inilah "rakyat menjadi korban politik". Tidak hanya itu, ideologi partai pun kadang juga digadai meskipun berseberangan ideologi namun untuk membangun koalisi bersama dengan partai-partai lain adalah hal yang lumrah, tentu tujuannya untuk tetap mempertahankan kekuasaan.

Partai Politik dan Demokrasi

Kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsinya, tidak hanya pada konstituen yang dikelola tetapi juga kepada bangsa dan negara. Karena, organisasi partai politik yang dapat menempatkan orang-orangnya dalam jabatan-jabatan politis yang bertugas untuk menentukan kebijakan-kebijakan publik yang berdampak luas dan tidak hanya kepada konstituen mereka. 

Di sisi lain, baik buruknya sistem kaderisasi dalam tubuh organisasi partai politik akan menentukan kualitas calon-calon pemimpin bangsa.

Partai politik dan demokrasi adalah saudara kembar yang tak dapat dipisahkan. Mengapa demikian? Jika demokrasinya berjalan pincang maka partai politikpun ikut pincang atau jika demokrasi mati maka partai politikpun akan terkubur bersama demokrasi. 

Menurut Socrates, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. 

Socrates memahami dengan baik bahwa rakyat tidak selelau memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka. (Ignas Kleden, 2004)

Pada prinsipnya, partai politik dan demokrasi adalah mesin pencetak pemipin yang populis. Bukan mesin yang mencetak orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Juga idealnya adalah sebagai wadah untuk menyedia edukasi politik terhadap rakyat. 

Di Indonesia, sekian banyak orang yang berusaha untuk memengaruhi kebijakan publik. Mereka semakin sadar bahwa berpolitik bukan monopoli kaum elit politik belaka, mereka semakin tahu bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh keputusan-keputusan politik yang sekian lama hanya ditentukan oleh kaum elit partai politik juga berpartisipasi untuk menentukan jalannya proses politik didalam negeri, bahkan diluar negeri.

Oleh: Kosmas Mus Guntur, Aktivis PMKRI

Penulis adalah Aktivis PMKRI Cabang Jakarta Timur dan Alumni Mahasiswa Hukum Universitas Borobudur, Jakarta.

Sebelumnya, tulisan ini telah publikasikan di aquinasjogja.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun