Oleh: Kosmas Mus Guntur, Aktivis PMKRI
Belum lama ini, melalui media daring, Joko Widodo mengkampanyekan bahwa dirinya siap menerima kritikan dari berbagai pihak khususnya dari rakyat. “Kita perlu saling mengingatkan dan saling membantu. Kita tidak boleh alergi terhadap kritik. Bagaimanapun kerasnya kritik itu, harus diterima sebagai wujud kepedulian, agar kita bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi harapan rakyat”, tegas Jokowi dalam pidato pada sidang tahunan MPR tahun 2019 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumaat (16/8/2019) seperti yang dilansir detik.com.
Presiden Joko Widodo juga meminta kepada semua lembaga dan para penegak hukum untuk tidak “alergi” terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Pesan Jokowi seolah memberikan sinyal kepada kita semua bahwa Jokowi adalah presiden yang merakyat. Namun, di lain sisi, pesan ini tidak tersampikan dengan baik kepada beberapa lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan TNI. Beberapa aktivis dan mahasiswa nyatanya sampai hari ini, masih saja ditangkap oleh pihak kepolisian dalam berbagai aksi demonstrasi-aksi kritik, misalnya.
Sebenarnya kritikan merupakan hal yang sangat diperlukan demi mencapai tujuan bersama. Terutama dalam mengefektifkan jalannya pemerintahan atau kekuasaan. Anehnya, pemerintah yang berkuasa, seakan tidak memahami daya posistif konstruktif kritikan. Karena itu, tidak mengherankan jika prilaku dan tindakan yang dilakukan pemerintah sangat bertolakbelakang dengan statement (pernyataan) yang dipublikasikan.
Sesuai Judul yang diramu penulis ”Jokowi, Anti Kritik?”, opini ini membawa kita jauh ke dalam untuk menelisik gaya komunikasi yang tidak seimbang dengan tindakan yang dilakukan oleh kaki tangan Jokowi di lapangan. Kemudian kita bertanya, benarkah Jokowi anti kritik?
Kritik adalah masalah penganalisisan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Secara etimologis, kritik berasal dari bahasa Yunani; clitikos- “yang membedakan”. Kata clitikos ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani kuno, yakni krites yang artinya “orang yang memberikan pendapat, beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi atau pengamatan”. Istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan seseorang pengikut posisi yang berselisih dengan atau menentang objek kritikan. Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Bagi khalayak, di era kebebasan berpendapat dan berkomunikasi pasca runtuhnya Orde Baru, pembicaraan politik yang mengkritisi berbagai masalah kebijakan pemerintah pada forum-forum terbuka termasuk di media sosial, kini menjadi hal biasa, bukan lagi menjadi hal “tabu”. Berbeda saat Orde Baru, penyampaian kritik terhadap jalannya pemerintah tidak mudah.
Dalam negara demokrasi, kritik dan demokrasi sejatinya adalah dua saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Karena kritik merupakan inti dari demokrasi. Dan demokrasi merahimi kritikan. Mestinya keberadaan pihak yang melakukan kritik terhadap jalannya pemerintahan harus disyukuri bukan “dimusuhi”.
Dalam tataran teoritis, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat yang kemudian dijalankan oleh mereka yang diwakili melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi pula mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sesuai yang tertulis dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.