Mohon tunggu...
Kosmas Mus Guntur
Kosmas Mus Guntur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis

Menjadi aktivis adalah panggilan hidup untuk mengabdi pada kaum tertindas. Dan menjadi salip untuk menebus Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Era Kapitalis, Rakyat adalah "Tumbal Politik"

30 Januari 2020   20:29 Diperbarui: 30 Januari 2020   21:01 2263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia politik adalah sarat dengan diskursus tentang bagaimana untuk berkuasa, sekaligus mengabaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Penulis juga ingin mengajak pembaca untuk menelusuri pilkada 2020. Melalui pemberitaan media daring, salah satu sistem yang begitu trend adalah praktik "buka lapak" ternyata sudah mulai digelar pada tingkat daerah provinsi, kabupaten/kota yang mengikitu pilkada serentak 2020. 

Ketua Partai Politik ditingkat Dewan Pengurus Cabang (DPC) masing-masing partai politik merespon baik atas inisiatif dari Cagub dan Cawagub, Cabup dan Cawabup karena tanpa kerja keras untuk menjaring Kader. Pola membuka "lapak" politik ini hampir tidak pernah dirubah. Karena tinggal duduk manis saja.

Pola lama ini adalah sebagai peluang atau pintu masuk mahar politik. Dimana setiap calon yang mendaftar nantinya akan diseleksi. Biasanya, proses seleksi ini yang menarik, praktek jual beli, tawar menawar sudah mulai didorong oleh setiap partai politik. Siapa yang mata uang atau nominalnya besar maka dialah yang diusung oleh partai tersebut. Soal dia berkualitas itu urusan belakangan yang penting pelincin duluan.

Hemat Penulis, salah satu cara untuk mengurangi praktek Jual beli partai (mahar politik) adalah mengubah pola "buka lapak". Dengan mengubah pola ini setidaknya mengurangi praktek mafia partai untuk memberantas atau menghapus soal mahar politik.

Idelanya Demokrasi.

Partai politk dan demokrasi adalah mesin pencetak pemipin yang populis. Bukan mesin yang mencetak orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Juga idealnya adalah sebagai wadah untuk menyedia edukasi politik terhadap rakyat. 

Di Indonesia, sekian banyak orang yang berusaha untuk memengaruhi kebijakan publik. Mereka semakin sadar bahwa berpolitik bukan monopoli kaum elit politik belaka, mereka semakin tahu bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh keputusan-keputusan politik yang sekian lama hanya ditentukan oleh kaum elit partai politik juga berpartisipasi untuk menentukan jalannya proses politik didalam negeri, bahkan diluar negeri.

Perlu juga kita ketahui bersama bahwa salah satu poin berdirinya partai politik adalah melibatkan masyarakat untuk melakukan tahap penjaringan yang kemudian didorong oleh partai bersama masyarakat untuk bertarung pada hajat demokrasi. Tahap ini, hampir tidak pernah dipakai oleh partai politik. Mestinya, pola lama ini perlu dirubah. Partai Politik harus memasang radar disetiap kepengurusan Pimpinan Anak Cabang (PAC) sampai pada tingkat kepengurusan Ranting Partai untuk menjala atau menjaring kader yang potensial dan berintegritas serta memiliki rekam jejak dan pengalaman organisasi yang jelas dalam kancah politik.

Jika melalui penjaringan itu mendapat kader, maka itulah yang kemudian didorong oleh partai politik bersama masyarakat dengan catatan tanpa embel-embel (Mahar Politik) lagi, agar rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis ini tidak sekedar "tumbal politik". Juga untuk mencegah kapitalisasi demokrasi oleh mafia politik. Karena demokrasi hanyalah sebuah sistem yang diabngun untuk melanggengkan penguasa duduk dan terlegitimasi di kursi kekuasaan. (*)

Penulis adalah Aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta Timur, St. Petrus Kanisius dan Alumni Mahasiswa Hukum Universitas Borobudur, Jakarta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun