Mohon tunggu...
Kosmas Mus Guntur
Kosmas Mus Guntur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktivis

Menjadi aktivis adalah panggilan hidup untuk mengabdi pada kaum tertindas. Dan menjadi salip untuk menebus Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Era Kapitalis, Rakyat adalah "Tumbal Politik"

30 Januari 2020   20:29 Diperbarui: 30 Januari 2020   21:01 2263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita menilik lebih jauh pernyataan para filsuf diatas tentang demokrasi bahwa yang dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka. Penulis juga ingin menarik benang merahnya bahwa demokrasi kita di Indonesia seperti sebuah sistem yang melanggengkan kepentingan para elitis-elitis partai politik. Menjelang pilkada, pilgub ataupun pilpres semua partai politik sibuk memverikasi data-data kepengurusan baik tingkat lokal sampai pada tingkat nasional untuk mengikutserta dalam pemilu misalnya. 

Disatu sisi, demokrasi dan partai politik adalah satu paket politik yang tidak bisa dipisahkan karena demokrasi adalah mimpi besarnya untuk mewujudkan cita-cita luhur, sementara partai politik adalah sebagai wadah untuk mewujudkan mimpi besar tersebut. Disisi lain, partai politik mengkapitalisasi demokrasi dengan membangun sistem yang mengikat dan memaksa bahwa demokrasi harus mengikuti aturan main partai politik dengan jargon untuk kepentingan rakyat.  

Hemat penulis, rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis ini pada akhirnya tidak lebih hanya sebagai "tumbal politik". Sistem kapitalis itulah yang melanggengkan penguasa duduk dan terlegitimasi di kursi kekuasaan. Keadaan demikian terjadi, berawal dari sistem Pemilu dalam demokrasi kapitalis --baik untuk memilih kepada daerah atau kepala pemerintahan pusat-- yang meniscayakan biaya yang sangat besar. 

Mereka yang tidak memiliki modal, atau tidak disokong oleh para pemodal, bisa dipastikan tidak akan bisa lolos dalam bursa pencalonan. Sehingga kolaborasi, hubungan "mutualisme" antara pengusaha atau investor, dengan calon penguasa mesti terjadi. Di sinilah visi, misi, kredibilitas, dan idealisme calon kepala pemerintahan pada akhirnya akan tersandra.

Wajah Demokrasi Menuju Era Kapitalistik. 

Melalui tulisan ini, penulis hendak menelisik geliat partai politik yang mengkampanyekan dukungan tanpa mahar kepada kandidat tertentu. Kemudian, bukan pula upaya menggiring opini publik. Lebih pada melihat praktek tahap penjaringan dan penjajakan pendapat agar pemilik (rakyat) demokrasi dapat menggunakan hak politiknya yang arif dan bijaksana. Kontestasi demokrasi elektoral yang kini dijerat dalam kuasa demokrasi berwatak kapitalistik telah menghilangkan nilai luhur dan hal subtansial demokrasi yakni, "dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat". Kini, amanah tersebut tidak benar-benar diimplementasikan dalam panggung demokrasi. Bergesernya nilai-nilai itu tak lepas dari ulah para politikus-politikus yang tak punya konsep, nilai dan semangat perjuangan untuk kepentingan rakyat.

Benar bahwa rakyat sebagai legitimasi untuk kekuasaan penguasa, baik eksekutif maupun legislatif. Namun, kenikmatannya hanya untuk segelintir rakyat yang juga sebagai penyokong dana kampanye yakni; investor atau pemodal lebih tepatnya "kaum kapitalis". Ketika sistem demokrasi kapitalis melanggengkan niat penguasa (Eksekutif dan Legislatif) maka bukti bahwa mereka benar-benar melayani rakyat mungkin hanya secuil saja, selebihnya pengabdian dan dedikasi mereka kepada para pemodal (kapitalis) bukan lagi untuk melayani kebutuhan rakyat.

Saya pastikan bahwa, ajang Pilkada serentak 2020 adalah ajang untuk menuju "panen raya parpol". Pilkada serentak yang diikuti oleh 270 daerah itu merupakan pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015. Melalui media daring, ke-270 daerah itu rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.

Rakyat Adalah Korban Politik.

Dalam pragmatisme politik yang menjadi penting adalah kekuasaan. Sehingga partisipasi politik hanya manifestasi dari keinginan untuk berkuasa. Idealnya, berkuasa hanyalah media anatara yang menjadi sarana untuk dapat menciptakan tatanan masyarakat yang ideal, sesuai dengan nilai dan faham yang dianut oleh partai politik. Karena dorong berkuasa begitu kuat, "kekuasaan" menjadi tujuan akhir dari berpolitik. Sementara mereka yang belum memenangan pemilu akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat meraih dan atau "menikmati" kekuasaan. Sebaliknya mereka yang sedang berkuasa akan mati-matian untuk mempertahankan kekuasaan.

Disisi lain juga, penulis menilai demi untuk mempertahankan kekuasaan inilah "rakyat menjadi korban politi". Tidak hanya itu, ideologi partaipun kadang juga digadai meskipun berseberangan ideologi namun untuk membangun koalisi bersama dengan partai-partai lain adalah hal yang lumrah, tentu tujuannya untuk tetap mempertahankan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun