Mohon tunggu...
Kornelius Pius Unandani
Kornelius Pius Unandani Mohon Tunggu... Atlet - Penting Lakoni

Calon Penulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Petani?

18 September 2018   20:59 Diperbarui: 18 September 2018   22:14 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa kabar para petani di Indonesia?

Ya, mungkin itu pertanyaan yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Memang dikalangan anak kids jaman now, tidak sedikit diantara mereka yang tidak mau mendengar bahkan mungkin masa bodoh untuk mereka.

Untuk mereka yang tingggal di perkotaan ataupun perumahan, mereka mungkin tidak tahu pasti bagaimana susah payahnya petani untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. 

Bahkan banyak dari mereka yang memilih untuk memenuhi kebutuhan mereka secara impor, membeli beras impor, buah impor, dan juga sayuran pun impor. Pengamat dan ahli pangan Indonesia, Bustanul Arifin juga mengungkapkan Indonesia sebagai negara tropis seharusnya bisa menghasilkan buah buahan dan sayur-sayuran sendiri tanpa harus mengandalkan impor.

Pada tahun 2010, terdapat 42,8 juta jiwa masyarakat indonesia yang memilih untuk berprofesi sebagai petani. Namun pada tahun 2017, angkanya turun menjadi hanya 39,7 juta jiwa. Berdasarkan data tahun 2010-2017, presentasenya terus mengalami penuruna sebesarr 1,1 persen per tahun. Kenapa hal ini bisa terjadi? Berikut faktor-faktor penyebabnya jumlah petani di Indonesia menurun

Faktor Ekonomi

Salah satu alasan kenapa petani tidak dapat mempertahankan kegiatan usahanya adalah pendapatan dari sektor pertanian tidak dapat lagi mencukupi dan menjadi sandaran bagi kehidupannya. Rata-rata pendapatan sektor pertanian Rp 12.413.920/tahun atau kurang lebih Rp 1.034.500/bulan (BPS-ST2013).

Faktor Mindset Petani

Perkembangan ilmu, teknologi, industri dan ekonomi mendorong terjadinya perubahan sosial ke arah masyarakat modern. Gejala modernisasi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ditandai dengan adanya penemuan dan pembaharuan unsur teknologi baru yang berguna bagi kemakmuran masyarakat. Dibidang ekonomi, modernisasi diidentikkan dengan meningkatnya produktivitas ekonomi.

Faktor Alam

Petani bekerja (aktivitas budidaya tanaman) memanfaatkan alam, itu sebabnya petani sangat bergantung padanya. Alam adalah anugerah bagi petani, namun juga sekaligus ancaman. 

Alam dapat menjadi ancaman bagi petani, karena setiap saat serangan hama, bencana banjir, kekeringan, dapat menyerang dan mengakibatkan kerugian bagi usaha tani. Usaha dalam bidang pertanian tanaman pangan memang usaha dengan resiko tinggi, karena rentan perubahan iklim/cuaca, prosesing dan handling yang relatif rumit dan butuh penanganan pasca panen yang secara cepat (umur ekonomi pendek).

Faktor Konversi Lahan

Konversi lahan merupakan salah satu faktor yang tidak dapat terlepas dengan faktor-faktor lain sebagai penyebab petani beralih profesi. Penelitian Adhi Yudha Bhaskara et al. (2011) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada faktor utama yang menuntut petani untuk menjual lahan atau melakukan alih fungsi lahan adalah faktor ekonomi, karena kebutuhan hidupnya tidak dapat tercukupi hanya dengan bertani.

Selain faktor ekonomi, faktor sosial juga mempengaruhi koversi lahan. Menurut Witjaksono (1996) dalam Adhi Yudha Bhaskara (2011) menyebutkan faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, diantaranya yaitu: perubahan perilaku, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi struktur masyarakat terhadap petani. Faktor sosial tersebut yang dapat membentuk pola pikir petani.

Foto Pribadi
Foto Pribadi
Memang untuk menjadi petani bukanlah hal yang sangat mudah, bahkan tidak sedikit diantara kita yang menghindari profesi sebagai petani. Petani merupakan pekerjaan yang sangat mulia, karena bagaimanapun jika di dunia ini tidak ada petani kita tidak akan bisa makan ataupun hidup.

Untuk menjadi petani memang diibaratkan seperti berjudi, kalau tidak untung ya rugi kalau tidak rugi ya untung. Sebut saja petani di daerah saya, rata-rata usia mereka adalah diatas 60 tahun. 

Tidak sedikit juga di daerah saya, masih ada petani yang panen padi secara tradisional atau juga bisa disebut dengan istilah "nyabet" yang dalam bahasa Indonesia artinya melepaskan butiran padi dari tangkainya dengan cara memukulkannya kumpulan batang-batang padi yang baru dipanen pada alat serupa bangku yang terbuat dari kayuyang disebut juga "jegreg". 

Untuk melakukan kegiatan nyabet ini memang di perlukan tenaga yang sangat kuat dan juga memerlukan waktu yang sangat lama sehingga memang waktunya kurang efisien.

Jadi bagaimana? Petani?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun