Film adalah sebuah hiburan tersendiri bagi para penikmatnya masing-masing. Ada yang suka dengan film layar kaca yang lazim disebut layar tv, biasanya film yang ditayangkan seperti sinetron dan sejenisnya atau ada juga penikmat layar lebar seperti yang terbiasa menyaksikan dalam studio besar sebut saja Cinemaxx, XXI dan sejenisnya.
Bahkan sebelum ada layar besar seperti saat ini, masih segar dalam ingatan, kami sekeluarga berkumpul dengan ratusan keluarga lainnya di sebuah tanah lapang, menyaksikan layar lebar sederhana yang terbuat dari bentangan kain alakadarnya, waktu itu namanya layar tancap.
Yang pernah ngalamin masa indah itu pastinya kalian sudah tidak muda lagi. Saya sangsi apakah generasi sekarang kenal dengan yang namanya layar tancap.
Dan film sedari dulu sudah menjadi sebuah industri hiburan yang harus diperhitungkan. Kekuatan film mampu menghipnotis, bayangkan, meskipun filmnya sudah diputar dua hari yang lalu, ceritanya tidak akan pernah habis untuk terus diceritakan. Bahkan sebagian rela untuk menyaksikan film yang sama lebih dari satu kali.
Sempat bertukar pikiran dengan teman, dan membandingkan kekuatan film saat ini dengan masa kami dahulu. Oh iya, sumber rujukan fim Indonesia saya ambil dari Wikipedia (karena ini sejalan dengan pemikiran teman yang menyatakan lebih baik pada zamannya ketimbang sekarang) Film Indonesia sendiri memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai studio lokal.
Film-film yang terkenal antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih ada beberapa lainnya. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady dan Desy Ratnasari.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih rutin diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan perfilm-an. Tetapi dengan masuknya film dari Hollywood dan Hongkong, sedikit demi sedikit namun pasti menggerus perfilm-an Nasional.
Persis sekitaran tahun 90-an industri film lokal mengalami kemunduran, film kita sudah tidak mampu berjaya di rumah sendiri.
Hal tersebut berlangsung hingga mucul abad baru dengan hadirnya film ringan menghibur dan sedikit diluar kebiasaan (pada waktu itu) dengan menggabungkan film dan dunia music, film Petualangan Sherina yang diperankan manis oleh Sherina Munaf sendiri, penyanyi cilik penuh bakat. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak tapi yang menyaksikan tidak hanya anak-anak saja, semua antusias pada zaman itu. Orang yang berada di belakang layar yaitu Riri Riza dan Mira Lesmana, mereka mampu membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilm-an Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Saya termasuk yang optimis, mengapa demikian, pasti sebagian dari kalian akan bertanya seperti itu bukan?
Jawabannya sederhana, zaman berganti, selera masyarakat film akan terus tumbuh dan berkembang, dunia teknologi dan industri perfilman sendiri pun akan bergerak maju. Naif rasanya jika hanya mengambil sampel beberapa film dan menyimpulkan bahwa lebih baik zaman dahulu ketimbang saat ini.
Saya sederhanakan maksud teman yang sepakat dengan pendapat Wikipedia, bahwa industri film pada saat dulu, bahwasannya ada pesan yang berhasil ia tangkap, seperti film Sherina, ringan, menghibur dan pesannya mudah untuk diserap. Tapi tetap saja ada kekosongan ketika masuk era 90 an, film bertema dewasa merebak.
Oke, saya ambil contoh film yang beberapa tahun lalu yang pesannya juga ringan, Sabtu bersama bapak, kalau ga salah film ini hadir pada tahun 2016, di blog saya simpulkan secara keseluruhan Sabtu bersama bapak mengaduk perasaan yang menyaksikannya. Tau dari mana? Saya mendengar langsung dari isak penonton sebelah saya, terlebih ketika adegan sang ibu yang hendak dioperasi. Tapi tenang, film Sabtu bersama bapak ada adegan menghiburnya juga, ketika tokoh Wati hadir dengan kelakuan yang ga jelas tapi menghibur.
Loh tapi itu film tahun 2016, mungkin sebagian akan berujar seperti itu? Ok, saya ajak kalian menikmati kelucuan preman pensiun, film ini mucul awal tahun 2019, pemeran utamanya Epi Kusnandar ia memainkan sosok Kang Mus, total abis, bahkan kalau kalian beruntung hadir di presconnya, Kang Epi sendiri tetap total berakting sebagai Kang Mus.
Atau kalau mau film yang lebih sederhana lagi dan tetap ringan, coba saksikan Keluarga Cemara. Ada cerita manis dan pesan positif yang diberikan, baik sisi leadership si abah itu sendiri atau sisi tegar dan tangguh yang coba diceritakan emak, atau ada juga manisnya persaudaraan kakak beradik (Ara an Euis) dan hangatnya pertemanan (Denis, Rindu, Ima dan lainnya). Keluarga Cemara juga menyajikan rasa yang komplit ada jengkel, kesal, marah hingga sedih.
Selalu disetiap akhir tulisan selalu saya coba ajak pembaca tulisan untuk menikmati langsung film bersama keluarga besar mereka.
Beberapa kali dapat kesempatan nobar, ketika berkesan dan berbekas sepengamatan saya. Minimal akan ajak ulang pasangan untuk menyaksikan kembali ataupun mencoba mengajak keluarga besar untuk nobar kembali.
Pada dasarnya saya akan selalu mendukung maju perfilman Indonesia, sebab kalau bukan kita yang mendukung siapa, kalau bukan sekarang, kapan lagi (gitu kata beberapa pengamat sineas) dan saya aminkan.
Tetapi tetap saya akan melakukan pemilihan untuk film yang akan saya saksikan kelak. Karena film memiliki dampak panjang dalam kehidupan seseorang yang menyaksikannya. Minimal buat saya film itu harus MENGHIBUR, MEMILIKI PESAN POSITIF YANG DISAMPAIKAN, TIDAK BERBAU KLENIK, SETAN DAN SEJENISNYA dan TIDAK MENGANDUNG UNSUR PORNOGRAFI.
Kalau hal itu semua ada disebuah film, minimal saya akan meluangkan waktu untuk menyaksikannya bersama keluarga besar.
Maju Terus Perfilman Indonesia dan teruslah berkarya untuk menghasilkan yang terbaik.
#tantanganKomik #jelajahdannobarmaraton
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H