Mohon tunggu...
Kornelius Ginting
Kornelius Ginting Mohon Tunggu... Administrasi - Lelaki Biasa

-”Scripta manet verba volant”. https://www.korneliusginting.web.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Kepergian Bayi Debora

9 September 2017   20:13 Diperbarui: 10 September 2017   05:17 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Satu lagi korban akibat kelalaian rumah sakit dalam memberikan penangan an yang cepat dan akurat.  Berkaca dari pengalaman orang tua beberapa bulan lepas. Memang semua kita sepakat takdir itu berada ditangan Tuhan. Tapi alangkah puasnya jika ada keseragaman rasa dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi orangtua. 

Tidak sama persis memang dengan kepergian Debora yang kalau ditilik dari media seolah-olah ada pengabaian penanganan yang diakibatkan orang tua yang tidak mau melakukan pembayaran uang muka.

Pengalaman saya pribadi

Waktu itu orang tua (mertua perempuan) mengeluhkan dadanya yang sesak untuk bernafas. Datang ke sebuah rumah sakit terbesar dan terlengkap di Jakarta, bela-belain dari jatiasih ke RSCM. Kondisi pada waktu itu (masuk IGD) masih sadar total dan masih dapat memberitahukan bagian mana yang sakit. 

Tetapi dokter darurat yang jaga kala itu, melihat kondisi ibu mertua yang masih sadar hanya berpesan agar sabar dan menunggu tindakan. Ibu mertua mengeluhkan dadanya sesak dan butuh oksigen yang lebih besar. Sementara alat untuk mendeteksi jantung masih digunakan oleh pasien lain. Alat lainnya masih diatas dan demi melihat kondisi ibu mertua yang sadar ditunggu hingga pasien lain selesai.

Yang terjadi berikutnya, hanya hitungan berapa jam, dari jam 2 dini hari sampai jam 5 pagi kesadaran masih bagus. Hanya karena dokter tidak sigap menangani orangtua kami. Lepas jam 5 subuh kondisi drop alias tidak sadarkan diri dan pulang kerumah Bapa disurga. Memang dokter sempat bertindak cepat ketika mami mertua kehilangan kesadaran tapi itu semua sudah terlambat. 

Yah, mau dikata apalagi nasi sudah menjadi bubur. Kami terima kepergian mertua dengan hati pahit. Sebab masih berharap loh, kan kami bawa ke rumah sakit yang terlengkap perawatannya, dokternya pun hebat-hebat namun sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak ke kami. 

Sempat mau melayangkan protes ke dokter yang menangani kala itu. Tapi ya sudahlah.

Dan kini kisah itu berulang dengan skenario yang berubah. 

Bayi Debora itu juga pergi

Kebayangkan anak usia 4 bulan yang belum bisa berkata dibagian mana yang sakit. Paling hanya bisa menjerit nangis. Dan kesakitan itu pula yang memutuskan orangtua melakukan segala upaya. Pilihan yang terlintas sudah benar dengan membawanya kerumah sakit. Tapi siapa sangka pilihan ini juga akhirnya memisahkan anak dengan orangtuanya. 

Dan media mengeksposnya, mulai dari biaya yang tidak sanggup dipenuhi pasien untuk uang muka atau sanggahan lain dari rumah sakit yang menyatakan orang tua keberatan dengan biaya yang disodorkan.

Saya mencoba melihat dari kedua belah pihak, jawabannya kok bertentangan, yang satu merujuk yang lain tidak mau menerima sementara yang lain mengatakan, lah situ yang ngga cocok dengan tarifnya (sambil berkata kalau ngga cocok cari yang lain)

Ngga pernah diekspos media (atau mungkin juga pernah) ketika orang datang dalam keadaan darurat, yang diprioritaskan adalah tindakannya bukan tarifnya. Etapi nanti pihak rumah sakit pasti bakal protes keras, enak aja. Semua yang darurat kami pasti proses tapi pasti ada biaya lanjutannya. Nah biaya lanjutannya ini yang beda-beda antar rumah sakit. 

Alih-alih (seandainya bayi Debora) sudah melewati masa krisis dan butuh perawatan lanjutan rumah sakit berharap besar agar perawatan dilanjutkan dengan biaya hanya rumah sakit saja dan Tuhan saja yang mengetahui (lah pasien, cukup diberi rinciannya saja) palingan hanya bisa diperiksa benar tindakan dan obat yang diberikan jangan sampai ditulis 2 kali.

Demi mendengar bayinya menangis keras sang ibu berharap sudah ada kemajuan. Dan kemajuan itu dibahas dengan bahasa yang kembali lagi ujung-ujungnya duit. Kalau mau lebih baik lagi harus masuk ruang khusus yang mensyaratkan ketersediaan uang muka. 

Demi melihat buah hatinya pulih, di iyakan konsekuensi apapun akan dihadapi. Tapi siapa sangka rumah sakit tidak butuh janji atau konsekuensi apapun juga yang dibutuhkan hanya uang. Tidak ada uang muka (meskipun ada janji dan konsekuensi apapun) tidak ada perawatan lanjutan.

Dan ketika Debora memutuskan untuk kembali ke pangkuan Tuhan, baru gejolak itu muncul. 

Kemungkinan-kemungkinan yang muncul dalam pemikiran saya.

Harapan saya dari berita Debora ini, rumah sakit juga bersuara lantang tindakan apa saja yang sudah mereka lakukan demi menyelamatkan Debora dan reputasi paramedis dan juga rumah sakit. Mungkin kalau bisa  sampai ditampilkan tindakan  apa saja yang sudah dilakukan dan dinilai oleh komite medis yang profesional bukan internal. Sehingga dari tindakan dan biaya yang diminta rumah sakit masuk akal, bukan seperti yang terjadi selama ini gelap dan tidak mau diperbandingkan.

Sementara itu pasien juga harus "fair enough" juga ketika membawa keluarga ke rumah sakit harus bersedia membayar semua kebutuhan dan keperluannya. Lalu kalau tidak mampu (setidaknya negara dengan BPJSNya) akan melihat atau melakukan sesuatu untuk warga negaranya yang tidak mampu. Tapi perlu dipikirkan juga bagaimana mengetahui dan mencegah agar warga yang mampu jangan  berpura-pura tidak mampu. 

Jelas di Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 diatur, tepatnya pasal 32 dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah ataupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelematan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.Bahkan dipasal yang sama ayat berikutnya, dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah ataupun swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka.

Memang sich untuk pelayanan kesehatan bahasanya masih abu-abu, penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan hanya dokter dan para medis yang mengetahui tindakan yang dilakukan tanpa ada pihak dari pasien yang mendampingi (sebab kalau pihak pasien dampingi bukannya tenang tapi malah bikin situasi makin kacau, biasanya).

Tapi percaya 100 persen kepada para medis (mustahil), tidak dipungkiri juga tetap ada oknum yang nakal. Yang mengabaikan sumpah yang sudah diucapkan ketika menjabat sebagai tenaga medis. Dan berdalih, dokter juga manusia butuh uang untuk mengembangkan diri, melakukan penelitian dan juga refreshing serta keluarga yang butuh untuk dinafkahi. Kalau semua pasien mendadak seolah-olah tidak mampu bayar, bagaimana mereka (paramedis) dapat hidup? 

Dan butuh kebesaran hati juga dari pasien untuk bersikap adil dan mau bertanggung jawab atas pembebanan biaya adminitrasi rumah sakit. 

Nah, Negara hadir ditengahnya untuk memastikan roda kesehatan berjalan dengan sempurna. Para medis tercukupi kebutuhannya tanpa si pasien merasa dicurangi atau merasa uangnya digunakan untuk tindakan yang tidak seharusnya.

Kalau sudah begini harapan ke depan, ketika si pasien kehilangan keluarga tidak akan merasa kecewa lagi sebab percaya 100% dokter sudah melakukan yang terbaik.

Dan dokter juga bertindak yang terbaik kepada siapa saja yang membutuhkan bukan kepada siapa yang membayar lebih baik.

Sekali lagi Negara memastikan semua itu berjalan dengan baik, bukan hanya ketika muncul sebuah masalah, baru bertindak melakukan sesuatu mencari celah dimana salahnya. Sebaiknya mencegah lebih baik dari mengobati, begitu katanya.

Salam Indonesia Raya

Udah ya, mau minum obat lagi..... :) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun