Generasi Alpha adalah anak dari orang tua di Generasi Millenial. Mereka adalah ucu dari generasi Baby Boomers. Cicit dari generasi Pembangun.
Mereka lahir di antara tahun 2011-2025. Salah satu ciri generasi Alpha adalah sangat melek terhadap teknologi. Mereka berada di jaman yang mudah mengakses informasi serba cepat dan multitouch.
Kecepatan informasi dan mudahnya generasi Alpha mengakses media merupakan sesuatu yang baik. Tapi di satu sisi menggelisahkan hati bagi para orang tua. Misalnya sulitnya mengontrol informasi yang diakses oleh mereka. Â
Sulitnya orang tua berkomunikasi atau berinteraksi dengan generasi Alpha mengakibatkan beberapa hal. Misalnya terjadi gap atau kesenjangan. Selain itu, terjadi krisis hubungan antara generasi Alpha dengan orang tuanya. Â
Saya pernah mendengar pengakuan langsung dari beberapa orang tua generasi Alpha bahwa anak mereka lebih cendenrung bermain dengan hp daripada bermain dengan orang tuanya. Â
Senin, 15 April 2024, saya pernah diundang jadi Nara sumber oleh pihak Departemen Kaum Muda Daerah (DKMD) Riau dan Sumatra. Topik yang diberikan berjudul: Krisis Hubungan Kekristenan bagi Generasi Alpha.
Kegiatan ini dilakukan secara Online via Zoom. Mereka yang hadir dalam zoominar ini adalah pengurus DKMD Riau-Sumar, beberapa gembala sidang, pengurus kaum muda gereja lokal dan anak muda remaja.
Dalam zoominar ini, saya mengutip pemikiran seorang peneliti sosial bernama Mark McCrindle pernah mengatakan demikian "Generasi Alpha jadi concern orang tua saat ini. Â Generasi Alpha akan menjadi kelompok yang sangat besar dengan hak mereka sendiri."
Lebih lanjut McCrindle menegaskan bahwa dibutuhkan strategi khusus untuk mendidik anak-anak yang lahir pada generasi ini. Â Hal ini bertujuan mereka menjadi anak yang mahir teknologi. Â Namun, mereka pun tetap menghargai nilai-nilai kekeluargaan dan hidup sesuai Firman Tuhan.
Memang point utama yang saya sampaikan di zoominar ini adalah penyebab terjadinya krisis hubungan kekristenan bagi generasi Alpha dipicu oleh menurunnya spiritualitas generasi sebelumnya seperti generasi Milenial sebagai orang tua mereka dan generasi Z sebagai kakak mereka.
Mengamati kegelisahan dan persoalan di atas, saya dan istri sebagai generasi Milenial yang  mempunyai dua anak generasi Alpha menyiasati krisis hubungan ini dengan mengkolaborasi pola didik tradisional dengan pola didik digital. Apa itu? Â
Dalam hemat pikiran kami, pola didik Tradisional adalah mengajak anak untuk berinteraksi dengan alam atau dunia nyata. Misalnya melihat kebun, tanaman, bunga, hewan di sekitar tempat tinggal.Â
Selain itu, kami mengajak anak bermain di taman bermain, bersepeda di sekitar halaman rumah, berolah raga bersama di lapangan bahkan di rumah.Â
Selain itu, sebelum tidur, kami membiasakan untuk bercerita menggunakan buku bergambar. Â Kadang Nael dan Shema dengan saya, tapi kadang juga Nael dan Shema dengan Mamanya. Â
Bahkan kadang saya dan istri bercerita dengan kedua anak kami menggunakan buku bergambar atau mendongengkan sesuatu cerita kepada mereka. Â Misalnya dari Firman Tuhan atau kisah kami orang tua di masa kecil. Â Nael sangat senang mendengarkan. Â Bahkan setiap malam ingin dengar cerita Bapak waktu kecil. Â
Beberapa waktu lalu, istri saya mendapatkan Gift Away dalam bentuk buku-buku hewan dan tanaman bergambar untuk anak-anak.  Selain itu, ada teman yang memberikan kami buku-buku bergambar tersebut.  Buku-buku ini sangat menolong dalam mendidik kedua anak kami. Â
Namun, ada kalanya kami menerapkan Pola didik Digital. Artinya kami mengajak anak nonton beberapa video edukasi terkait dunia maya anak-anak. Misalnya video animasi Super Jojo, Polisi Lambrado, Leo, Upin Ipin, Baby Bus dan sejumlah video terkait lainnya.
Beberapa channel YouTube yang saya sebutkan ini banyak memberikan informasi dan edukasi kepada anak-anak kami. Di dalamnya ada hewan2 animasi seperti dinosaurus, ikan, sapi, kerbau, kuda, kucing, anjing, ayam dan lain-lain. Juga ada tumbuhan, alat transportasi yang dikemas dengan dinamis.
Kami tidak sering membiarkan mereka nonton sendiri. Namun, kami mendampingi apa yang mereka nonton sembari bercerita dan berinteraksi dengan mereka juga. Jika kami membiarkan mereka nonton sendiri, kami harus pastikan apa yang mereka nonton dan harus berisi dua hal ini: informasi dan edukasi.
Kami melihat dampak positif dari kolaborasi pola didik tradisional dan pola didik digital ini. Hal ini terlihat ketika kami suruh pilih berinteraksi dengan alam atau dunia maya.Â
Berdasarkan pengalalaman, kedua anak kami lebih memilih berinteraksi dengan alam, terutama anak pertama yang sudah berusia 3 tahun 8 bulan, selalu lebih memilih bermain atau bepergian daripada nonton. Â Shema, adiknya cenderung ikut saja. Â
Melihat dampak ini, kami sebagai orang tua Milenial bagi Generasi Alpha sangat senang. Artinya apa yang kami terapkan membuahkan hasil yang positif. Kami pun berharap, setiap orang tua Milenial dapat mengkolaborasi kedua pola ini yaitu Pola Didik Tradisional dengan Digital.
Selamat mencoba dan tetap mengasihi anak-anak kita. God bless.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H