Jumat, 29 Maret 2024 merupakan salah satu sejarah yang berkesan dalam hidup aku dan keluarga. Â Mengapa tidak? Â Selesai Ibadah Jumat Agung, siangnya saya bersama istri (Valentia, 30 tahun) dan kedua putra kami, Nael (3 tahun 6 bulan) dan Shema (1 tahun 6 bulan) berlibur ke Boyolali, tempat tinggal kakak laki-laki saya bersama keluarganya, persis di daerah Jrakah yang merupakan daerah sekitar Kaki Gunung Merapi. Â
Dengan kendaraan motor Jupiter MX King 150, kami berempat menempuh perjalanan dari STT Berea, Salatiga ke Jrakah, Boyolali dalam jarak tempuh 1 jam 15 menit. Â
Dalam permulaan perjalanan, cuaca lumayan panas, tetapi ketika memasuki daerah Boyolali, kami merasakan cuaca yang mulai sejuk, bersyukur kami menggunakan jaket yang cukup tebal. Â
Apalagi ketika memasuki daerah Jrakah, selain cuaca yang sangat sejuk dan dingin bahkan berawan, jalan tanjakan dan berbelok-belok menambah sensasi dan ketegangan tersendiri.Â
Sebagai tipe pria dan suami yang tidak ngebut kalau berkendaraan, perjalanan itu tidak melelahkan dan memiminimalkan ketegangan, karena kami sangat menikmati perjalannya. Â
Sambil berinteraksi dengan istri dan kedua anak, untuk melihat para petani di lereng bukit yang sedang bercocok tanam dengan santui, tetapi kami melihatnya seram.  Karena dari pandangan kami, itu tanah yang terjal.  Bahkan ada petani yang sedang jalan kaki, mendaki sembari memikul hasil panen, seperti sayur-sayuran.  Mereka sungguh kuat, tangguh dan  luar biasa. Â
Nael, anak pertama kami sangat antusias, bahkan ketika dia melihat petani, burung beterbangan, pohon-pohon, kerapkali dia berteriak, Bapak... lihat itu ada Om petani! Â Mama ... Lihat itu ada belalang terbang. Â Bapak ... lihat itu ada awan, sembari mengeluarkan asap dari mulut. Â Seru banget, bukan? Â Kami sangat bersyukur, bisa menikmati perjalanan itu. Â Â
Ketika sampai, kami sangat senang berjumpa dengan kakak dan keluarganya yang baru selesai Ibadah Jumat Agung juga. Â Sebab mereka ibadah agak siang. Sukacita, canda tawa bercampur rasa haru hingga bersalaman, alias cium Sumba (cium hidung) menghangatkan perjumpaan kami. Â
Kami menyadari bahwa perjumpaan bersama keluarga merupakan salah satu wujud dalam menjaga keakraban dan kerukunan saudara-bersaudari. Â Apalagi kami tinggal di daerah perantauan. Rasa kangen sungguh terobati, meski hanya beberapa hari. Â Karena bukan, berapa lama waktunya, tetapi kualitas kebersamaan di balik perjumpaan itu.Â
Kami pun disambut dengan minum kopi dan teh, kue-kue ala Jrakah bahkan makanan yang sudah disiapkan oleh keluarga. Â Sungguh kami sangat menikmati, lagian sudah lapar juga. Heheheee. Â