Wonogiri - Momen malam pergantian tahun sangat dinantikan oleh kebanyakan orang. Pada tanggal 31 Desember merupakan tanggal dari penutup tahun. Hal ini yang mendasari untuk merayakan malam tahun baru Masehi. Malam tahun baru yang identik dengan kembang api sebagai wujud perayaan pergantian tahun. Anak- anak muda yang keluar untuk menyambut suka cita malam tahun baru, dengan rangkaian kegiatan yang mereka lakukan.
Dibeberapa daerah di Indonesia, perayaan malam tahun baru diisi dengan rangkaian kegiatan yang spektakuler. Misalnya ada yang menggelar konser, do’a bersama, menyalakan kembang api, dan rangkaian kegiatan lainnya. Tetapi ada juga daerah yang tidak atusias dalam merayakan tahun baru Masehi ini, daerah-daerah tersebut lebih antusias dalam menyambut perayaan tahun baru Islam atau Hijriah.
Gus Yasin Wakil Gubenur Jawa Tengah pernah berkata, dalam merayakan tahun baru Masehi dengan tahun baru Hijriah harus dengan cara yang berbeda.
Seperti halnya di wilayah Jatipurno, Wonogiri, perayaan tahun baru Masehi tidak semeriah dengan tahun baru Hijriah. Karena di wilayah Jatipurno sendiri sebagian besar masyarakatnya beragama Islam.
Di malam tahun baru Masehi 2023 ini, wilayah Jatipurno tidak ada perayaan spesial untuk menyambutnya. Berbanding terbalik dengan perayaan menyambut tahun baru Hijriah, rangkaian juga tradisi-tradisi sudah menanti. Misalnya tradisi Kenduri sebagai wujud rasa syukur dalam pergantian tahun baru Hijriah, lalu ada pengajian akbar, bazar, ziarah, dan tradisi-tradisi lainnya.
Tidak heran jika masyarakat di wilayah Jatipurno ini tidak antusias dalam menyambut tahun baru masehi. Alasannya bukan hanya karena mayoritas masyarakatnya beragama islam tetapi juga letak geografis nya yang berada di pedesaan.
Untuk masyarakat desa sendiri memang tidak begitu tertarik dalam menyambut tahun baru Masehi ini.
Lalu, apakah dalam agama islam boleh merayakan tahun baru Masehi?
Dikutip dari Nu Online, menurut Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya menegaskan, “Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru hijriah, nuzulul qur’an dan peringatan perang Badar.
Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan. Kendati demikian, juga tidak bersebrangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan”. (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338).