Mohon tunggu...
Kopi santri
Kopi santri Mohon Tunggu... Lainnya - Berpeci pecinta kopi

Membaca atas nama Tuhan, Menulis untuk keabadian, Bergerak atas dasar kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pahlawan Tanpa Legalitas

5 Mei 2022   03:20 Diperbarui: 5 Mei 2022   03:21 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi petani Ds. Gosara

Oleh: Pejalan Sunyi

Menjadi seorang pahlawan bukanlah hal yang mudah, semua orang mengetahui hal itu. Tapi, hanya sedikit yang mengerti tentang pahlawan tanpa tanda jasa. Kebanyakan orang hanya mengenal entah itu melalui surat kabar, televisi, radio atau media informasi yang dikemas atas dasar kepentingan kelompok pribadi. 

Pahlawan yang menjadi pahlawan justru dibungkam dan termarginalkan lantaran tidak memperbuat sesuatu. Padahal, mereka yang tidak memperbuat sesuatu bukan berarti tidak menginginkan kebaikan dirasakan oleh sekitarnya.

Seandainya dahulu Tuhan menciptakan tidak hanya satu manusia lelaki pertama, melainkan dua. Misalnya, Adam dan Adem tidak menutup kemungkinan Adem menjadi pahlawan pertama dalam sejarah kemanusiaan dikarenakan ia tidak memakan buah khuldi. Adam yang dengan karakter dan sifatnya sendiri yang gemar dengan penemuan baru dan aktif, sedangkan Adem dengan karakternya yang tenang dan tak mau ikut campur dengan urusan di luar dirinya.

Pada saat Adam tergoda dan mencuri buah tersebut, di bawah pohon besar dengan sungai surga yang mengalir di sampingnya, di sana terdapat Adem yang sedang tertidur pulas. Bagi Adem, tidur sudah cukup baginya untuk menjadi seorang  pahlawan, yang diperkenankan oleh Tuhan untuk tinggal di surga, sementara Adam yang memakan buah larangan tercampakkan di Bumi yang sunyi. 

Pada saat itu, seandainya kita diberi kesempatan untuk memilih hendak menjadi anak keturunan siapa, tentu saja beramai-ramai mendaftarkan diri menjadi keturunan Adem. 

Daripada harus berjuang mati-matian dan bersusah payah serta nelongso di Bumi sebagai jenis makhluk yang gemar bermusuhan, menipu dan menumpahkan darah, lebih baik tertidur pulas di surga dan tidak ikut campur dengan urusan di luar dirinya. Ketika bangun dari tidur, tinggal terjun ke sungai, atau sekedar mengisi kekosongan dengan bermain dadu atau gaple.

Namun, inilah kenyataannya. Lagi-lagi kita kembali tersadar pada kehendak Tuhan yang Kuasa. Kita hanyalah lakon yang perjalanankan Tuhan Pemillik Semesta. Terkadang, sejarah manusia tiba pada suatu kondisi dimana minimal perbuatan baik bukan hanya tak dijadikan ajang perlombaan tetapi juga diremehkan dan diejek. Orang yang berjuang keras berbuat baik akan disebut, "Sok Pahlawan!". 

Ketika udara terkontaminasi oleh virus cukup membahayakan dimana seseorang yang menghirupnya akan merasakan kedunguan berkelanjutan dan membuat kabur pandangan, dan jika ada segelintir orang yang mempunyai resistensi tinggi terhadap kerusakan atmosfer kedunguan dan pandangannya masih jelas, maka mereka justru dituduh dungu.

Saat itu pula, pandangan tentang pahlawan menjadi kabur. Nilai yang tak menentu, kualifikasi yang bisa digeser-geser atau dibolak-balikkan. Keburukan berpakaian kebaikan, kejahatan berpakaian kemuliaan, sedangkan kebaikan dan kemuliaan sendiri tak sempat mengurus wajahnya. 

Maling ialah orang yang paling lantang dan yang paling seru berteriak "Maling!", pencuri berdasi yang paling gencarnya memperingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi, para ahli Hukum adalah yang paling awal memberikan edukasi bebas melanggarnya, lembaga yang tak berbudaya adalah yang mengelola kebudayaan, lembaga yang tak bersosial adalah yang mengelola sosial. 

Orang lebih memilih enak tak enak daripada baik dan tidak baik. Orang berbondong-bondong menyembah kenyamanan dan menomor satukan keluhuran. Tatanan ekonomi dipenuhi oleh monster dan kehewanan. Kemanusiaan dan agama merupakan permainan dadu dan kelereng disaat-saat senggang. 

Para pengemis budiman duduk termangu dan termenung di depan makam pahlawan, seraya bergumam kepada dirinya sendiri, "Apakah suatu saat akan ada ralat sejarah dan makam-makam tertentu terpaksa dibongkar agar kebenaran bisa diletakkan pada tempatnya...?" kemudia beranjak pergi dengan segumpal harapan tanpa kepastian.

Pada kondisi seperti itu kita menatap seorang pedagang kaki lima, penjaja makanan-makanan kecil, tukang bakso, kelontongan, manua-manusia "kecil" sejenis itu dirasa betapa tinggi harkat kepahlawanan mereka atas kehidupan, lebih dari orang-orang besar yang selalu kita sebut dan banggakan namanya melalui koran televisi, radio atau media informasi sejenisnya.

Penjual bakso yang melata di gang-gang kempung hampir semalaman. Membunyikan ketukan demi menarik perhatian banyak orang mendapat pelanggan kepada orang-orang yang hampir serentak berangkat tidur. Jelas, hal tersebut merupakan tindakan ekonomi yang bodoh, suatu demonstrasi keyakinan yang mutlak. 

Jika saja Ia memiliki kecakapan mentalitas maling, tentu saja tidak akan tahan berkeliling berjam-jam hanya untuk seribu dua ribu rupiah yang di pagi hari Ia persembahkan kepada istri dan anaknya. 

Setiap kali ia berhenti mendorong gerobaknya, memandang setiap jendela terbuka tanpa kaca sambil mengharap datangnya suara "Mas, Baksonya Mas!". Namun, ketika suara itu tak ada, betapa kecewa, dan entah berapa ribu kali dirinya dilempari kekecewaan semacam itu. Meski demikian, Ia menerimanya dengan ikhlas, sehingga tubuhnya tetap sehat dan terus berjualan.

Memiliki profesi sebagai penjual bakso tidaklah cukup sama sekali untuk membuat seseorang menjadi pahlawan. Meski demikan, memilih berjualan bakso, bertani, beternak dan sejenisnya daripada maling, mencopet atau merampok atau pula mengemis, adalah sebuah kepahlawanaan manusia yang tinggi. Tidak banyak dari kita mampu melihat nilai-nilai kepahlawanannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena seringkali kita mengutuk bahkan membuli dan mengklaim bahwa yang berdasi lebih jelas legalitas kepahlawanaannya ketimbang berjualan bakso yang berputar-putar di gang-gang sepi.

Kendati demikian, tukang bakso, petani, dan peternak menjadi pahlawan karena mereka pasti tidak melakukan korupsi dan kolusi yang merugikan banyak manusia (rakyat) dan negara. Mereka relatif tidak terlibat dalam tatanan struktur riba pengisapan. 

Mereka juga tidak menuntut dihormati layaknya seorang pejabat keruptor yang acap kali bawahannya menundukkan muka dan membungkukkan badan. Mereka juga tidak merasa pahlawan seperti banyak relawan sosial yang mengobral kemiskinan rakyat. 

Penjual bakso, petani, pternak, dan tukang kelontongan, mereka menjadi pahlawan justru karena tidak melakukan banyak sekali dosa dan penghianatan yang secara sistemik atau personal dilakukan oleh kebanyakan orang berpangkat di sekitarnya.

Dari seorang tukang bakso, petani, pternak, tukang kelontongan memberi banyak pelajaran kepada orang-orang yang mampu berpikir bahwa selama ini secara terang-terangan yang kita abdi adalah ketinggian materi, hedonisme, posisi foedal, kapitalisme, narsistik, dan nilai-nilai lain sejenisnya. Kita tidak menomrsatukan kejujuran, kemuliaan, dan kebaikan. 

Tradisi budaya sebagian besar kita saat ini dalam kehidupan sehari-hari adalah Ngapurancang (hormat/tunduk) kepada seorang Bapak meskipun kita ketahui banyak melakukan penghianatan moral, sementara kepada seorang tukang bakso, petani, pternak, penjual asongan  atau tukang kelontongan kita selalu melihat ke bawah.

Sumber:

Caknun.com (Pahlawan konkrit)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun