[caption id="attachment_404492" align="aligncenter" width="546" caption="Ilusrasi/Kompas.com"][/caption] Hari raya Nyepi di Bali biasanya identik dengan kehadiran Ogoh-ogoh. Bagi orang awam seperti kita Ogoh-ogoh mungkin hanya patung-patung berukuran besar, dan tak jarang berpenampilan menyeramkan, yang diarak sepanjang jalan dan menjadi tontonan masa. Begitu populernya Ogoh-ogoh sehingga tidak heran menjadi salah satu atraksi wisata. Memang, Ogoh-ogoh pada dasarnya adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa menjelang malam sehari sebelum hari raya nyepi, atau dikenal dengan Pangrupukan, yang kemudian akan dibakar. Pangrupukan sendiri merupakan tahap ketiga sebelum Nyepi berlangsung. Di tahap ini warga akan menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh yang tujuannya adalah untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Menurut Wikipedia Indonesia, Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa. Ogoh-ogoh yang diarak dan kemudian dibakar memiliki tujuan yaitu mengusir untuk Buta Kala dari lingkungan sekitar. Mengusir Buta Kala yang diwujudkan dalam bentuk Ogoh-ogoh bisa diarttikan sebagai perlambang upaya untuk mengusir kekuatan jahat yang bisa menggangu keseimbangan kehidupan. Oleh karenanya wujud Ogoh-ogoh bisanya memang selalu berbentuk patung raksasa yang mengerikan, meski bukan hal yang mutlak juga. Ogoh-ogoh juga kerap berbentuk dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Surga dan Naraka, seperti: naga, gajah, Widyadari dan semacamnya. Dalam perkembangannya rupa Ogoh-ogoh juga bisa berbentuk tokoh-tokoh yang popular, bahkan terkadang berbau politik atau SARA, yang sebenarnya menyimpang dari tujuan Ogoh-ogoh itu sendiri. Terlepas dari itu, Ogoh-ogoh merupakan salah satu bentuk karya seni yang patut diapresiasi, terlepas sebagian besar dari mereka nasibnya berujung di pembakaran api. Ogoh-ogoh dikerjakan dengan telaten biasanya memerhatikan estetika seni tersendiri serta memiliki detil dan ornamen yang kaya, sehingga hadir dalam rupa-rupa yang cantik untuk dipandang, terlepas betapa mengerikan penampakannya.
Ogoh-ogoh biasanya terbuat dari bambu yang dianyam. Namun kini Ogoh-ogoh juga dimodifikasi oleh sejumlah perajinnya dengan menggunakan gabus yang relatif lebih ringan dan gampang dikreasikan dalam berbagai bentuk dan rupa yang diinginkan. Modal mengerjakan Ogoh-ogoh ini juga bervariasi, tergantung detil dan besarnya. Biasanya dengan minimal Rp. 300 ribu kita sudah bisa membuat segiah Ogoh-ogoh sederhana. Tapi tak jarang Ogoh-ogoh juga memerlukan modal besar karena memerlukan pengerjaan yang rumit dan bahan yang tak murah pula, seperti Ogoh-ogoh Nangluk Mrana yang berukuran panjang 13 meter, lebar 2 meter dan tingginya 3 meter. Ogoh-ogoh ini siap untuk memeriahkan Pangrupukan tahun ini. Proses pengerjaan Ogoh-ogoh gabus tidak banyak berbeda dengan yang terbuat dari bambu, hanya saja memerlukan ketelitian yang lebih dalam merancang pola sosok yang akan dibentuk. Kekurang telitian dalam mengerjakan pola dan memotong gabus akan menyebabkan bentuk Ogoh-ogoh yang tidak simetris. Karena relatif lebih cepat dikerjakan serta memilik penampilan yang tak kalah dibandingkan Ogoh-ogoh anyaman bambu, tidak heran banyak warga yang kemudian menjadikan Ogoh-ogoh sebagai dekorasi, baik di rumah, bahkan di hotel.
Tidak hanya itu, kabarnya kini di Bali juga sudah ada museum yang khusus menampilkan berbagai Ogoh-ogoh. Museum ini terletak di sebelah barat Pura Taman Ayun, Mengwi, Badung berdekatan dengan Museum Yadnya. Dengan nuansa magis yang cukup kental, kita bisa menyaksikan berbagai macam dan bentuk Ogoh-ogoh dengan ketinggian rata-rata sekitar 2 hingga 5 meter. Pemandu tidak akan segan-segan bercerita tentang cerita-cerita di balik setiap Ogoh-ogoh yang dipamerkan, sehingga memberi pengalaman tersendiri saat mengunjungi museum ini. Jadi, saat berkunjung ke Bali, terutama sebelum Nyepi, tidak ada salahnya untuk mengunjungi museum ini, selain menyaksikan arak-arakan Ogoh-ogoh yang memenuhi jalan. Dan dalam kesempatan ini, izinkan seluruh tim Kopi Keliling untuk mengucapkan selamat menjalankan Catur Brata Penyepian, Tahun Baru Saka 1937 dan semoga Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan wara nugraha-NYA kepada kita semua. Amin! Selengkapnya: http://kopikeliling.com/art/ogoh-ogoh-seni-patung-raksasa-yang-mengagumkan.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H