Pasti ada alasan kenapa maestro film Indonesia, Teguh Karya, memilih Secangkir Kopi Pahit sebagai judul filmnya. Saat menyesap kopi, mungkin kita merasakan manis, tapi mungkin juga pahit. Saat kopi terasa pahit, yang bisa kita lakukan mungkin hanya terus menghirup dan menikmati getir rasanya. Secangkir Kopi Pahit (1984) adalah film ke-14 dari pria kelahiran Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937 ini. Dibintangi oleh Alex Komang (saat itu merupakan pendatang baru) sebagai seorang pria berdarah Batak bernama Oleh Tegar yang merantau ke Jakarta. Berkat bantuan sahabatnya, Buyung (Ray Sahetapy), ia bekerja sebagai wartawan, yang sayangnya tidak begitu cakap dikerjakannya. Kehidupan di Jakarta ternyata begitu kompleks dan menyebabkan Oleh Tegar terlibat dalam berbagai masalah. Sama halnya dengan karya-karya Teguh Karya yang lain, Secangkir Kopi Pahit adalah melodrama. Tapi jangan samakan melodrama Teguh Karya dengan roman picisan banjir air mata dan penderitaan belaka, Ia kerap memasukkan nilai-nilai sosial, budaya dan politik dalam karya-karanya. Secangkir Kopi Pahit bukan pengecualian. Secangkir Kopi Pahit seolah menjadi metafora akan dinamika hidup yang getir tapi harus tetap dijalani.
Alex Komang dan Ray Sahetapy dalam Secangkir Kopi Pahit (sumber gambar: pribadi)
![Alex Komang dan Ray Sahetapy dalam Secangkir Kopi Pahit (sumber gambar: pribadi)](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555648e70423bdcf168b4568.png?t=o&v=770)
Christine Hakim dalam Badai Pasti Berlalu (sumber gambar: jakartavintage.co)
![Christine Hakim dalam Badai Pasti Berlalu (sumber gambar: jakartavintage.co)](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555648e90423bdcf168b4569.jpeg?t=o&v=770)
![Sebuah adegan dalam November 1828 (sumber gambar: rumahnegeriku.com)](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/555648eb0423bdcf168b456a.jpeg?t=o&v=770)
Sebuah adegan dalam November 1828 (sumber gambar: rumahnegeriku.com)
Di masanya, November 1828 termasuk film dengan biaya produksi termahal. Butuh sekitar Rp. 240 juta untuk dapat menyelesaikan filmnya. Dan itu terbayar di layar. Sisi artistik November 1828 begitu terjaga dan kuat dengan detil, sehingga sisi otentik film pun dapat dipertanggungjawabkan. Ini penting karena film berlokasi di sebuah kampung kecil, di masa seperti yang tertera di judul. Berkisah tentang sebuah keluarga yang terlibat dalam konflik dengan beberapa perwira Belanda yang masuk ke kampung mereka. Didukung pemain-pemain watak seperti Yenny Rahman, Slamet Rahardjo, El Manik, dan Maruli Sitompul, November 1828 tidak usah diragukan lagi dari segi akting. Tapi kelebihan utama film bukan hanya itu. Ia tampil cemerlang sebagai sebuah drama psikologis yang bermain-main dengan konteks dan dieksekusi dengan tangkas. Doea Tanda Mata (1984)
Yenni Rahman adalah Miss Icih dalam Doea Tanda Mata (sumber gambar: selasar.com)
Dalam Doea Tanda Mata, Yenny Rahman adalah Miss Ining, seorang bintang stambul yang jatuh cinta kepada seorang pria pergerakan bernama Gunadi (Alex Komang). Tapi Gunadi yang telah menikah bukan menjadi penyebab masalah di antara mereka, melainkan kematian adik Miss Ining di tangan Belanda. Gunadi yang merasa bersalah berusaha menebusnya dengan mencari komisaris polisi yang telah membunuh adik Miss Ining tersebut. Mungkin terlihat seperti sebuah melodrama dengan setting tahun 1930-an, tapi percayalahDoea Tanda Mata lebih dari itu. Layaknya sebuah pertunjukkan panggung sandiwara, film adalah sebuah kolase tentang salah satu babakan perjuangan Indonesia yang melibatkan sosok-sosok yang sebenarnya tak memiliki kepentingan banyak untuk itu. Film sekali lagi memamerkan kemampuan seorang Teguh Karya dalam membangun seting baheula dengan presisi yang cermat dan tidak asal-asalan. Menonton Doea Tanda Mata, kita seolah seperti tersedot masuk dalam pusaran mesin waktu. Ibunda (1986)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI