Pasti ada alasan kenapa maestro film Indonesia, Teguh Karya, memilih Secangkir Kopi Pahit sebagai judul filmnya. Saat menyesap kopi, mungkin kita merasakan manis, tapi mungkin juga pahit. Saat kopi terasa pahit, yang bisa kita lakukan mungkin hanya terus menghirup dan menikmati getir rasanya. Secangkir Kopi Pahit (1984) adalah film ke-14 dari pria kelahiran Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937 ini. Dibintangi oleh Alex Komang (saat itu merupakan pendatang baru) sebagai seorang pria berdarah Batak bernama Oleh Tegar yang merantau ke Jakarta. Berkat bantuan sahabatnya, Buyung (Ray Sahetapy), ia bekerja sebagai wartawan, yang sayangnya tidak begitu cakap dikerjakannya. Kehidupan di Jakarta ternyata begitu kompleks dan menyebabkan Oleh Tegar terlibat dalam berbagai masalah. Sama halnya dengan karya-karya Teguh Karya yang lain, Secangkir Kopi Pahit adalah melodrama. Tapi jangan samakan melodrama Teguh Karya dengan roman picisan banjir air mata dan penderitaan belaka, Ia kerap memasukkan nilai-nilai sosial, budaya dan politik dalam karya-karanya. Secangkir Kopi Pahit bukan pengecualian. Secangkir Kopi Pahit seolah menjadi metafora akan dinamika hidup yang getir tapi harus tetap dijalani.
Alex Komang dan Ray Sahetapy dalam Secangkir Kopi Pahit (sumber gambar: pribadi)
Alex Komang dan Ray Sahetapy dalam Secangkir Kopi Pahit (sumber gambar: pribadi)
Dalam sepanjang karirnya, Teguh Karya telah menghasilkan banyak film yang sangat menarik untuk ditonton. Gelagat dirinya sebagai sutradara berkarakter sudah ditunjukkan dalam film perdananya,
Wadjah Seorang Laki-Laki di tahun 1971. Setelahnya, film demi film karyanya selalu mendapat tempat di hati penonton film Indonesia. Meski sayangnya saat memasuki tahun 90-an ia sudah tidak menghasilkan karya lagi, sampai akhirnya pun menutup mata di tanggal 11 Desember 2001 di usia 64 tahun. Meski telah banyak film yang telah dihasilkannya, tapi selain
Secangkir Kopi Pahit, ada empat film Teguh Karya lain yang harus masuk dalam daftar wajib tonton. Tidak ada waktu yang paling tepat selain Hari
Film Nasional untuk kembali menyaksikan mereka. Dan bagi yang belum pernah menonton film-film Teguh Karya, empat judul ini adalah awal yang tepat untuk memulai.
Badai Pasti Berlalu (1977) Christine Hakim dalam Badai Pasti Berlalu (sumber gambar: jakartavintage.co)
Christine Hakim dalam Badai Pasti Berlalu (sumber gambar: jakartavintage.co)
Badai Pasti Berlalu wajib masuk dalam daftar film roman Indonesia terbaik. Diangkat dari novel karya Marga T. berjudul sama, cerita film sebenarnya sederhana saja. Siska (Christine Hakim) yang pernah disakiti hatinya oleh laki-laki bertemu dengan Leo (Roy Marten). Tapi sebuah kesalahpahaman membuat Siska menolak Leo dan menjatuhkan pilihan ke sosok Helmi (Slamet Rahardjo), seniman parlente yang tampaknya baik hati. Tapi nasib sepertinya memang senang mempermainkan hati dan perasaan Siska. Film ini semakin mengukuhkan posisi Teguh Karya sebagai satu dari sedikit sutradara Indonesia yang dengan cerdas mampu memadukan antara selera komersil dengan sentuhan estetika produksi film yang berkelas. Tidak hanya filmnya saja yang mendapat apresiasi berlebih, tapi juga album soundtracknya yang berisi lagu-lagu gubahan Eros Jarot yang dianggap mengangkat derajat musik pop Indonesia ke kelas yang lebih terhormat.
November 1828 (1978)
Sebuah adegan dalam November 1828 (sumber gambar: rumahnegeriku.com)
Sebuah adegan dalam November 1828 (sumber gambar: rumahnegeriku.com)
Di masanya, November 1828 termasuk film dengan biaya produksi termahal. Butuh sekitar Rp. 240 juta untuk dapat menyelesaikan filmnya. Dan itu terbayar di layar. Sisi artistik November 1828 begitu terjaga dan kuat dengan detil, sehingga sisi otentik film pun dapat dipertanggungjawabkan. Ini penting karena film berlokasi di sebuah kampung kecil, di masa seperti yang tertera di judul. Berkisah tentang sebuah keluarga yang terlibat dalam konflik dengan beberapa perwira Belanda yang masuk ke kampung mereka. Didukung pemain-pemain watak seperti Yenny Rahman, Slamet Rahardjo, El Manik, dan Maruli Sitompul, November 1828 tidak usah diragukan lagi dari segi akting. Tapi kelebihan utama film bukan hanya itu. Ia tampil cemerlang sebagai sebuah drama psikologis yang bermain-main dengan konteks dan dieksekusi dengan tangkas. Doea Tanda Mata (1984)
Yenni Rahman adalah Miss Icih dalam Doea Tanda Mata (sumber gambar: selasar.com)
Yenni Rahman adalah Miss Icih dalam Doea Tanda Mata (sumber gambar: selasar.com)
Dalam Doea Tanda Mata, Yenny Rahman adalah Miss Ining, seorang bintang stambul yang jatuh cinta kepada seorang pria pergerakan bernama Gunadi (Alex Komang). Tapi Gunadi yang telah menikah bukan menjadi penyebab masalah di antara mereka, melainkan kematian adik Miss Ining di tangan Belanda. Gunadi yang merasa bersalah berusaha menebusnya dengan mencari komisaris polisi yang telah membunuh adik Miss Ining tersebut. Mungkin terlihat seperti sebuah melodrama dengan setting tahun 1930-an, tapi percayalahDoea Tanda Mata lebih dari itu. Layaknya sebuah pertunjukkan panggung sandiwara, film adalah sebuah kolase tentang salah satu babakan perjuangan Indonesia yang melibatkan sosok-sosok yang sebenarnya tak memiliki kepentingan banyak untuk itu. Film sekali lagi memamerkan kemampuan seorang Teguh Karya dalam membangun seting baheula dengan presisi yang cermat dan tidak asal-asalan. Menonton Doea Tanda Mata, kita seolah seperti tersedot masuk dalam pusaran mesin waktu. Ibunda (1986)
Tuti Indra Malaon adalah sosok ibu yang kalut karena tingkah laku anak-anaknya dalam Ibunda (sumber gambar: city.fukuoka.lg.jp)
Tuti Indra Malaon adalah sosok ibu yang kalut karena tingkah laku anak-anaknya dalam Ibunda (sumber gambar: city.fukuoka.lg.jp) Meski cenderung mengandalkan dialog verbal dan setting yang terbatas, tapi Ibunda tidak pernah membosankan sama sekali. Teguh Karya dengan telaten memanfaatkan sudut dan perspektif agar film bergerak dengan dinamis. Berseting di wilayah urban seperti Jakarta, film menyoroti konsep keluarga yang secara sosiologis mulai mengalami pergerseran, sesuai dengan perkembangan zaman. Tapi ini bukan film didaktis. Sama sekali tidak. Dengan berlandaskan melodrama yang mengharu-biru, Teguh Karya menjadikan Ibunda sebagai drama keluarga yang akan menjanjikan rasa hangat di dada seusai menyaksikannya. Jangan lupakan pula dialog-dialog cerdas yang menohoknya. Tuti Indra Malaon berperan sebagai Rakhim, sang ibunda. Sedang anak-anaknya diperani oleh Niniek L. Karim, Alex Komang dan Ria Irawan. Selengkapnya baca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya