Perang nggak hanya melahirkan penderitaan, kehilangan, luka yang mendalam, tapi juga seniman-seniman besar dan karya-karya seni yang luar biasa. Banyak seniman yang justru merasa terinspirasi ketika hidupnya tertekan. Demikian juga dengan yang terjadi pada 6 orang seniman besar Inggris yang lahir di akhir dekade Abad 19. Kebanyakan mereka mulai berkarya saat terjadinya Perang Dunia I. Keenam seniman itu adalah pelajar di Slade School of Art di London, sekolah seni yang masih paling bergengsi sampai hari ini. Guru seni dari keeenam seniman muda itu adalah Henry Tonks, seorang ahli bedah yang kemudian beralih profesi menjadi seniman dan guru seni. Dia adalah salah satu seniman Inggris yang pertama yang terpengaruh oleh aliran Impressionis Perancis, dan dihubung-hubungkan dengan banyak nama seniman besar lainnya, seperti James McNeill Whistler, Walter Sickert, John Singer Sargent, dan George Clausen. Menurut pengakuan para mantan muridnya, Tonks adalah sosok yang nggak takut pada atasan dan nggak suka orang yang cepat berpuas diri. Dia dikenal dingin, dan tidak suka berbasa-basi. Perang Dunia I membawa akibat yang berbeda-beda pada murid-murid Tonks. Sebagian ada yang semakin terinspirasi, sebagian lagi malah merasa hancur. Dalam memoir-nya yang ditulis di tahun 1929, Tonks menyatakan bahwa ada sekelompok muridnya yang disebutnya terkena “krisis kecemerlangan”. Mereka adalah Stanley Spencer, Paul Nash, C.R.W. Nevinson, Mark Gertler, David Bomberg, dan Dora Carrington.
Mark Gertler
Stanley Spencer
Paul Nash
Putra dari seorang pengacara yang sukses dan seorang ibu yang meninggal di rumah sakit jiwa, awalnya Nash ingin mempunyai karir sebagai Angkatan Laut. Tapi karena tidak lulus tes, Nash mengambil keputusan untuk menjadi seorang seniman – dan di sanalah dia bertemu dengan Henry Tonks. Di masa Perang Dunia I, Nash terdaftar sebagai Artists’ Rifles dan dikirim ke Western Front di tahun 1917. Sempat mengadakan pameran di masa itu, karirnya semakin menanjak. Pandangannya terhadap seni pun berubah, seperti yang ditulisnya kepada istrinya pada tanggal 16 November 1917:
“Aku bukan lagi seniman yang punya rasa ingin tahu yang besar. Aku adalah pembawa pesan dari mereka yang berjuang kepada mereka yang ingin terus berperang. Pesanku memang tidak mempunyai artikulasi, tapi mempunyai kebenaran yang pahit, yang akan membakar jiwa mereka yang jahat.”Paul-Nash
Salah satu karya terbesar Nash pada saat itu adalah “The Menin Road”. Masih banyak lagi cerita yang jika kita gali lagi, akan menggetarkan hati. Perang sudah pasti mempunyai dampak psikologis pada siapa pun yang hidup di jaman itu. Mungkin menjadi seniman itu adalah sebuah keberuntungan. Blessing in disguise. Setidaknya mereka bisa menyalurkan rasa sedih dan marah mereka melalui karya-karya mereka. Kita yang tidak hidup di jaman perang, sudahkah kita bersyukur bahwa kita dapat melihat dunia melalui jendela yang indah?
Shortlink: (click to copy)
Related posts:
- Karya Seni Yang Tak Terlihat
- Kisah Sedih Seniman Kathe Kollwitz
- Mural dari Benda (Yang Terlihat) Sederhana
- Instalasi Seni Publik yang Seru
- Karya Seni Yang Terinspirasi Karya Sastra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H