Di zaman yang makin gaul (gagal ulangan)Â dan kompleks seperti ini, rasa ingin tahu sudah tak jadi candu. Tanya banyak, dibilang kepo. Tanya sedikit, katanya cuma formalitas. Tak melempar tanya, berarti tak peduli.
"Ah, bisa tidak kalian diam saja?"
     Hal ini pun melarutkan tingkat kekritisan muda-mudi masa kini. Mereka jadi tak sudi bertanya, padahal paham pada hal yang dijelaskan pun tidak. Membaca buku tidak. Bertanya pun enggan. Astaga, bahkan memperhatikan penjelasan guru pun tidak, malah sibuk terpaku pada layar telepon pintarnya. Lalu, dari manakah mereka bisa paham? Apa mereka sudah 'masa bodoh' dengan hal-hal yang seharusnya ditanyakan?
     Entah. Mungkin mereka lelah. Tapi, lelah pada apa? Tak seharusnya nyinyiranitu kau dengar, kala kau masih paham di mana teritori yang mana harus kau pahami, dan mana yang bukan menjadi urusanmu. Bedakan mana kepo, mana kritis. Pilah mana hal yang harus kau tanyakan, mana yang tidak harus kau tanyakan; seperti urusan orang lain misalnya, hehe.
"Kalo ga tahu, tanya! Jangan sok tahu, tapi sesat!"
     Malu bertanya, memang akan tersesat di jalan (tapi kan sekarang ada Google Maps). Lantas, apakah banyak bertanya itu memalukan? Tentu saja tidak! Dengan bertanya, kita bisa tahu perspektif dan paradigma seseorang tentang suatu permasalahan itu seperti apa. Pun hal ini melatih kita untuk tidak menilai suatu permasalahan hanya dari satu sudut pandang saja. Hal ini akan membuat kita lebih bijaksana dan rasional dalam menilai dan berpendapat atas suatu kasus, dan tidak akan jadi orang yang melulu memaksakan kehendak. Dan juga, bertanya akan memupuk rasa ingin tahu, yang mana sikap itu adalah salah satu sikap dari seorang peneliti. Keren, kan?
Jadi, bertanyalah, maka jawabannya akan membuka satu pintu lagi menuju cakrawala ilmu pengetahuan yang begitu luasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H