Jika pendaki menemui kibaran panji NU di puncak Pawitra Gunung Penanggungan itu bukan kebetulan semata.Â
Kegagahan kibaran panji NU bersama kibaran Sang Saka Merah Putih di puncak tersebut erat kaitannya dengan peran aktif para santri di LPBI (Lembaga Penanggulanan Bencana Dan Perubahan Iklim) NU Mojokerto, dalam hal menjaga kelestarian dan konservasi alam di wilayah gunung yang berketinggian 1.653 meter dari permukaan laut tersebut.
Napas konservasi alam itu tidak hanya dimonopoli oleh para pecinta alam ataupun kelompok dan organisasi lingkungan hidup saja.
Nyatanya, para santri LPBI NU Mojokerto, dengan basis warna bendera hijaunya sudah mampu memberikan teladan peran santri dalam mewujudkan ekologi lingkungan hijau di samping peran lainnya sebagai rescuer tanggap darurat kebencanaan.Â
Mereka juga adalah para pejuang fiqih al bi’ah yang terus berusaha menempatkan wacana lingkungan hidup beserta ekosistemnya sebagai sebuah ushul dan bukan lagi sebagai furu’.Â
Memupuk ekologi menjadi ekoteologi maksudnya adalah usaha keras yang berakar dari permasalahan tentang lingkungan hidup beserta perlindungannya yang nyatanya tidak akan bisa atau sulit diselesaikan hanya dengan mengandalkan pengetahuan dan teknologi saja.Â
Perlu tambahan solusi taktis seperti merubah secara arif, bijaksana, mendasar dan bertahap cara pandang dan perilaku manusia bertuhan terhadap alam lingkungannya.
Sasarannya bukan lagi hanya orang perorang, namun harus menjadi budaya dan kebiasaan masyarakat secara luas.
Bidikan pertama dari para santri LPBI NU Mojokerto, adalah mereka para pendaki gunung yang secara psikologis sangat dekat dengan alam.
Komunitas pecinta alam dan pendaki gunung tidak bisa diremehkan begitu saja pengaruhnya dalam mewujudkan ekoteologi yang berbasis ekokritisme.