Saya sangat terkesan ketika membaca hipotesis biografis tabrakan dua Superbenua Gondwana dan Laurasia.Â
Ekstasi bacaan itu seolah membuat saya terpojok duduk terpaku di depan layar lebar fiksi ilmiah era neoproterozoikum yang hingga kini belum pernah dibesut detailnya oleh para sineas.
Hanya Steven Spielberg yang kreatif utak-atik, itupun mentok hanya di era Jurasik dengan karya fiksi Jurassic Park yang terkenal itu.
Runut tabrakan dua superbenua tersebut akhirnya berhenti dengan hasil berupa terbentuknya dataran luas berbukit-bukit dan berlahan basah yang disebut Borneo atau Kalimantan.
Kedahsyatan tabrakan superbenua itu sering menjadi gambaran liar bagi diri saya.
Semisal ia hadir saat saya mengintip lanskapnya dari jendela pesawat, seperti dua bulan lalu setelah saya puas menyatroni hutan-hutannya dengan mata kepala sendiri.
Keunikan biografisnya begitu merayu para ilmuwan. Tak terkecuali si Alfred Russel Wallace yang begitu bernafsu dan sahih menggambar garis imajiner yang dikenal dengan nama Garis Wallace itu.
Sama halnya dengan garis imajiner Khatulistiwa yang juga ikut-ikutan nyangkut, membelah dan memaras ayu Kalimantan.
Salam hormat untukmu Al Idrisi dengan Al khatul istiwa-mu.
Saling-silang dua garis imajiner ini membuat Kalimantan memiliki keanekaragaman hayati yang tak tertandingi oleh Amazon sekalipun.