Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Arunika Bergelung Ekopuisi

20 Oktober 2021   00:45 Diperbarui: 20 Oktober 2021   00:55 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya jejak karbon tidak saja cukup digembala dengan perbaikan fisik, tetapi juga penyadaran jiwa berlingkungan. Bahkan hal ini seharusnya sudah tertanam sejak usia dini.

Gagasan ekopuisi menggambarkan tradisi ekologi romantis yang mengakar di tahun 1980-an untuk merespon masalah lingkungan yang mulai kompleks di tahun 2000-an.

Narasi dan ekspresi jiwa menyayat atmosfer itu hanya bisa lahir ketika penyair sudah merasakan terlebih dahulu. Menempatkan badan-badan mereka di depan sebagai bantalan resistansi untuk mengawal alam raya.

Mereka tak lekang nenggoreskan rima-rima euonia tentang mati surinya bunga bakung di tepi sungai yang airnya sudah mabuk polutan. 

Mereka juga tak akan berhenti merumpang kata tentang tanah yang terusik masa bercintanya dengan akar pohon yang setia memeluknya itu.

Semua kepedihan ekologis penyair itu adalah konsekuensi yang logis. Hingga akhirnya keras membatu menjadi sebuah ideologi. Saya pun juga rasakan itu. Terutama ketika isu lingkungan mencuat. Siap sediakan untuk bersilat rima.

Sama halnya dengan munculnya berbagai ideologi politik, ideologi ekonomi di dunia, ekopuisi juga mampu memasuki wilayah ideologi kesastraan. Menggilasnya berarti puputan.

Ekopuisi menyapa manusia tentang persepsi dan konsep alam yang berimbang dalam teks sastra. Ia adalah bagian dari ekokritik yang tidak saja monoton dipenuhi esai-esai kaku keras melawan.

Karakter ekopuisi dengan konten-konten ekologis kuat itu akhirnya menjadi pusat wacana puitis kontemporer. Hingga akhirnya banyak antologi ekopuisi yang bermunculan.

Seperti: Wild Reckoning (2004), The Thunder Mutters: 101 Poems for the Planet(2005), Redstart: An Ecological Poetics(2012), dan  Earth Shattering: Ecopoems(2007).

Tak kalah juga di dalam negeri, kemunculannya mengimbangi duka-duka ekologis anak negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun