Sepertinya jejak karbon tidak saja cukup digembala dengan perbaikan fisik, tetapi juga penyadaran jiwa berlingkungan. Bahkan hal ini seharusnya sudah tertanam sejak usia dini.
Gagasan ekopuisi menggambarkan tradisi ekologi romantis yang mengakar di tahun 1980-an untuk merespon masalah lingkungan yang mulai kompleks di tahun 2000-an.
Narasi dan ekspresi jiwa menyayat atmosfer itu hanya bisa lahir ketika penyair sudah merasakan terlebih dahulu. Menempatkan badan-badan mereka di depan sebagai bantalan resistansi untuk mengawal alam raya.
Mereka tak lekang nenggoreskan rima-rima euonia tentang mati surinya bunga bakung di tepi sungai yang airnya sudah mabuk polutan.Â
Mereka juga tak akan berhenti merumpang kata tentang tanah yang terusik masa bercintanya dengan akar pohon yang setia memeluknya itu.
Semua kepedihan ekologis penyair itu adalah konsekuensi yang logis. Hingga akhirnya keras membatu menjadi sebuah ideologi. Saya pun juga rasakan itu. Terutama ketika isu lingkungan mencuat. Siap sediakan untuk bersilat rima.
Sama halnya dengan munculnya berbagai ideologi politik, ideologi ekonomi di dunia, ekopuisi juga mampu memasuki wilayah ideologi kesastraan. Menggilasnya berarti puputan.
Ekopuisi menyapa manusia tentang persepsi dan konsep alam yang berimbang dalam teks sastra. Ia adalah bagian dari ekokritik yang tidak saja monoton dipenuhi esai-esai kaku keras melawan.
Karakter ekopuisi dengan konten-konten ekologis kuat itu akhirnya menjadi pusat wacana puitis kontemporer. Hingga akhirnya banyak antologi ekopuisi yang bermunculan.
Seperti: Wild Reckoning (2004), The Thunder Mutters: 101 Poems for the Planet(2005), Redstart: An Ecological Poetics(2012), dan  Earth Shattering: Ecopoems(2007).
Tak kalah juga di dalam negeri, kemunculannya mengimbangi duka-duka ekologis anak negeri.