Mungkin saja saya tidak perlu membaca puisi untuk membayangkan seperti apa perubahan iklim. Bisa jadi saya cukup hanya menelan warta jagat raya yang disiarkan itu.
Namun, saya tak bisa pungkiri bahwa membaca puisi tentang buana yang sudah memanas ini, membuatnya terasa lebih nyata sekali di depan pelupuk mata.
Saya seperti merasakan pantat panci hangat dari lamanya pisah dengan api. Rasa hangat itu terbawa tidur, mengalahkan segala mimpi asmaraloka.
Penyair terkadang mendahului silogisme kaku ilmuwan dengan kecepatan perasaan halusnya yang bak bulu perawan itu.
Kadang juga penyair menjura sesenggukan membayangkan seperti apa buana tua ini memanas terpanggang gas rumah kaca yang sudah melesat ambang batasnya.
Pilunya sungguh menampar segala spekulasi hitungan matematis, menyentuh hingga pangkal perasaan adiwarna batin.
Hingga lahirlah penyair-penyair ekopuisi yang berusaha membujuk kesadaran manusia untuk berlingkungan hidup dengan baik melalui ekspresi sastranya.
Tak cukup sekedar mengetahui informasi ini dan itu dalam sebuah warta lingkungan. Namun yang dibutuhkan adalah mencercapnya kuat-kuat.
Dari hanya sekedar tahu hingga dapat merasakan eleginya, itulah tugas ekopuisi dalam andilnya untuk jejak karbon.
Itu juga yang diminta oleh para aktivis gerakan lingkungan untuk para penyair: bantu kami untuk dirasakan, bantu kami untuk dibayangkan, bantu kami untuk direnungkan dengan kekuatan ekopuisi kalian.