Jelas, yang saya tulis ini bukan berasal dari keilmuan nutrisi dan gastronomi pribadi yang sangat cekak.
Terobosan pengurangan jejak karbon ini saya peroleh dari pengampuan daring dari salah satu institusi yang tidak cekak di sana, Ivy League.
Bagaimana kebijakannya begitu dalam?
Tak terlalu sibuk mereka menuding knalpot, cerobong asap atau saluran kombusi karbon lainnya sebagai sasaran tunggal yang berselera.Â
Atau, Perserikatan Bangsa-Bangsa itu secara intuitif ikut-ikutan menuding keras penghasil emisi karbon hingga selalu terpojok tak berdaya.
Adalah arif dan bijaksana jika dimulai dari yang terdekat,yaitu emisi karbon dapur rumah dan emisi karbon saluran makan tubuh yang selama ini merunduk saja, sembunyi dari tudingan.
Peran unik kudapan lokal (local food) jarang dan bahkan tak ditoleh. Padahal dekat sekali dan sangat berpengaruh bagi akumulasi jejak karbon.
Sepertinya kalah lincah saja dengan tangan-tangan yang menjulur gapai frozen foods di peti-peti yang kadang masih ber-CFC.
Tak perlu banyak mikir dan persiapan khusus untuk menjejalkan kudapan beku atau makanan yang berteknologi tinggi itu mulut.Â
Atau, lebih suka riang berlarian mengejar makanan cepat saji (fast foods) untuk menghibur hari-hari yang makin terkubur junk food.
Banyak, sih, yang merasakan kebutuhan mendesak untuk kurangi dampaknya terhadap bumi. Namun, apa daya, carnivore dilemma. Antara selera dan semena.Â