Ketika makan siang tiba, saat perut menerima haknya dengan riang gembira, tak terasa kita telah meninggalkan jejak-jejak karbon.
Proses hadirnya sepiring nasi berisi rendang daging yang lezat dan berminyak gurih beserta sayurannya itu menghasilkan jejak karbon yang cukup besar.
Rantai proses produksi sepiring nasi berlauk dan bersayur hingga siap saji di atas meja serta pengolahan limbah organiknya, tak terasa berdampak besar terhadap lingkungan.
Itu sebagian kecil kisah jejak karbon yang selalu mememani perjalanan hidup manusia dan peradabannya.
Sebijak-bijaknya manusia dalam menempatkan diri dan berperilaku di alam pasti menghasilkan karbon sebagai residu logis sebuah gerak dan napas kehidupan.
Jejak karbon yang dihasilkan pada sistem rantai makanan diperkirakan telah menyumbang emisi gas rumah kaca hingga 30% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Besar, kan?
Jumlah tersebut setara dengan melepaskan gas karbon dioksida sebanyak 9,800 – 16,900 Megaton di udara.
Nah, di sinilah kemampuan manusia diuji untuk mengurangi residu logis dari jejak karbon yang susah dihindari sepenuhnya tersebut.
Kebijakan pembangunan rendah karbon pun mulai diterapkan di berbagai sektor-sektor besar hingga lini kehidupan yang terkecil sekalipun.
Mulai dari reduksi intensitas energi, pengembangan energi baru rendah emisi karbon, efisiensi kerja hingga upaya pengembangan kendaraan bermotor non-bahan bakar fosil.