Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Birukan Langit: Budaya Pop Emisi Nol

7 Oktober 2021   22:30 Diperbarui: 7 Oktober 2021   22:40 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbekal semangat pelari virtual, saya tancap kaki langkah seribu di pagi itu. 

Ini adalah rencana tak lazim yang mungkin saja bisa dianggap ramah lingkungan.

Saya begitu bersemangat untuk mengunjungi spot-spot menarik yang berjarak puluhan kilometer itu. 

Tentang indahnya pemandangan hijau menakjubkan di daerah Loksado, Kalimantan Selatan, yang tentunya wajib saya lakukan dengan berjalan dan berlari saja.

Keinginan kuat itu tidak akan lumer kalau tidak dipaksakan sesuatu. Termasuk tentang birunya langit yang menggantung di sana.

Wajar saja, kultur populer kekinian tentang pelestarian alam sudah berdamai dengan model-model kewajiban yang digelorakan oleh kompensasi oleh hal tertentu. 

Ya, itulah, semisal yang saya lakukan saat itu. Menyelesaikan jarak kilometer wajib dalam sebuah program bertema langit biru. Dan semoga saja tetap langgeng.

Program nyata emisi nol tersebut bertajuk "Your Zero Journey to Zero" yang digawangi oleh Katingan Mentayan Project, membuat saya mampu mengikuti alur keterpaksaan ini dengan hasil akhir: sadar!

Hingga pula akhirnya mampu berdamai dengan budaya pop tentang meminimkan berkendara berbahan bakar fosil.

Seperti halnya konsep-konsep yang bertema "zero emissions" lainnya, tidaklah ia dengan mudah begitu saja berdamai dengan budaya pop sebelumnya yang sudah lama lekat ini.

Haruslah diawali dengan paksaan yang menggiurkan. 

Seperti yang saya lulakukan. Tentang kompensasi mendapatkan kebugaran tubuh, pemandangan indah dan tentunya iming-iming hadiah dari prestasi yang dilombakan.

Termasuk juga yang dilakukan oleh Kompasiana ini. Dalam hal tertentu, telah berusaha keras mengenalkan dan membuat ringan kompromi budaya pop berkendara bahan bakar fosil dengan kelestarian berbasis emisi nol lewat tulisan.

"Net-Zero Emissions" sebagai basis kampanye penyelamatan bumi dalam kendali takar emisi, bukanlah hal mudah untuk diwujudkan. 

Kecuali kita menutup mata. Atas banyaknya keuntungan mekanis yang kerap bercerobong asap dan bersaluran buang kombusi itu. Yang sudah lama membantu peradaban dan membuat ringan hidup dengan teknologinya.

Disrupsi terbesar dari gerakan sadar emisi nol Net Zero Emissions adalah kepura-puraan untuk peduli beserta euforianya yang hanya menghasilkan pepesan kosong tanpa bergerak nyata sedikitpun.

Menulis adalah gerak nyata. Tentunya nyata keterbacaannya dalam membuat rangkaian kalimat pembelajaran berdamai dengan alam serta khotbah lingkungan hidup. Ini cocok untuk Anda dan saya tentunya.

Dari sinilah awal segalanya. Hingga diharapkan membuat sadar pentingnya sadar emisi nol dengan segala daya upaya untuk mewujudkannya hingga tetes tinta terakhir.

Walaupun nyatanya, mungkin kita masih berkendara berbahan bakar fosil untuk beli sebungkus nasi Padang di pojok komplek yang dekat itu. Lapar, habis menulis kampanye sadar emisi nol.

Ahai, itu tak mengapa kawan! Awal adalah jibaku komitmen yang harus benar-benar diperjuangkan. 

Awal dan cara pertama yang mudah untuk berdamai dengan budaya pop yang telah lama menggiuri bahan bakar fosil itu adalah menulis kecentilannya menghasilkan emisi karbon.

Semestinya dengan semangat kita sajikannya ke ruang publik sebagai bahan baku penyadaran yang handal.

Bagaimana berkendara ke warung nasi yang dekat tadi?

Mungkin esok hari jalan kaki saja, ya?

Atau, kita genjot saja pedal sepeda kita yang sekarang mulai tren berdamai dengan kampanye sadar emisi nol ini?

Mari, memulai hal ini dengan yang mudah dan ringan  dulu. Banyak acara lari ataupun yang bersepeda yang siap membantu mengawali untuk mewujudkan apa yang kita tulis tentang emisi nol. 

Itu juga akan membantu dan meringankan betapa beratnya mengganti kebiasaan budaya pop berkendara berbahan bakar fosil dengan apa yang kita tulis.

Hingga akhirnya, esok hari setelah gowes beli nasi, makin meningkat untuk gowes ke kantor. 

Atau dengan cara apa saja yang lebih bijak. Bisa dilakukan dengan kombinasi jalan, gowes dan apapun untuk berusaha memangkas emisi bahan bakar fosil.

Biru, kan, langitnya? 

Napaspun lega, sehat dan bersih. Hingga masing-masing individu yang tercerahkan siap mendukung program yang lebih komplek dan rumit yang telah digagas oleh orang-orang di atas sana.

Yaitu tentang kebijakan-kebijakan rendah karbon yang menargetkan capaian Net-Zero Emissions (NZE) di tahun 2060. 

Itu saya kira waktu yang cukup untuk mendamaikan budaya pop berkendara bahan bakar fosil yang notabene masif jumlahnya. 

Sebab, gerak berpindah dengan segala teknologinya adalah porsi yang lumayan besar sebagai penyumbang emisi karbon saat ini, di samping saluran kombusi lainnya yang juga tak kalah masifnya.

Ayo, tunggu apalagi! 

Saatnya memulai ajakan untuk berdamai ini sesuai kemampuan masing-masing. 

Memulai dari hal terkecil dan paling mudah serta dari tempat kita yang terdekat. 

Tentang jalanan komplek itu,  tentang jarak warung nasi yang dekat itu. Tentang langkah molek kaki kita yang makin sehat. Atau tentang genjotan riang pedal sepeda kita yang siap sukseskan program ini.

Globalisasi memang telah mendorong homogennya budaya pemodal yang kerap berhubungan dengan emisi karbon.

Namun, di sisi lain, bersamaan pula muncul adanya usaha penyatuan kekuatan masyarakat yang fokus berjuang seputar pertahanan tempat tinggal agar asri dan sehat.

Tanggungjawab itu sebagai bentuk kreativitas baru yang mandiri sebagai perwujudan lingkungan sadar emisi. 

Hingga nantinya dari hal terkecil ini, diharapkan mampu langgeng membudaya, seringan "pop culture" ala emisi nol lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun