Setelah Aisyah mengakhiri laporannya ke base camp Sapala pesantrennya via handy talky, sejurus kemudian ia berganti dengan telepon pintarnya. Dia menggoyang-goyangkan ke kanan kiri, jamak orang untuk mencari sinyal yang bagus bagi antarmuka media sosialnya, siap unggah foto-foto, sebuah aktivitas yang mungkin terlihat narsis.
Namun bagi sebuah pendakian itu sangat penting. Ketika kita menjadi seorang survivor yang mungkin tersesat, hingga netizen bisa melacak koordinat terakhir foto yang diunggah tersebut.
Hilal yang telah tampak seolah tersenyum bersama gemintang di atas sana tertawa mungil, menahan geli ke arah Aisyah. Apa yang dilakukan Aisyah menggemaskan, seakan jadi narahubung antara kekecewaan fakir sinyal dan rasa pantang menyerahnya.Â
Aisyah tak menyerah dengan keadaan, mengangkat telepon genggamnya tinggi-tinggi, seolah ingin memberi tantangan kepada gemintang yang tertawa mungil tadi. Tetap nihil, sinyal terlalu lemah!
Gunung Penanggungan atau Gunung Pawitra yang berketinggian 1.653 mdpl itu  adalah gunung berapi kerucut dalam keadaan dormant atau kondisi istirahat, berada di Jawa Timur.. Posisinya berada di perbatasan dua kabupaten, yaitu Kabupaten Mojokerto (sisi barat) dan Kabupaten Pasuruan (sisi timur) dan berjarak kurang lebih 55 km sebelah selatan kota Surabaya.
Meskipun kecil, gunung ini memiliki keunikan dari sisi kesejarahan, oleh karena di sekujur permukaannya, mulai dari kaki sampai mendekati puncak, dipenuhi banyak situs kepurbakalaan yang dibangun pada periode Hindu-Buddha dalam sejarah Indonesia.Â
Mereka santri pecinta alam yang peduli dengan nilai-nilai historis benda purbakala itu. Rutin melakukan pendataan, perawatan dan penjagaan atas benda purbakala yang bernilai historis tinggi itu. Kesalehan mereka dilatih untuk menghormati dan menghargai kearifan lokal agar tidak menjadi santri yang anarkis dan anti kearifan lokal beserta budayanya.Â
Sedang di kaki gunungnya juga ada kegiatan yang sama mereka lakukun yaitu di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa) Watukosek, Pasuruan yang menjadi langganan pengamatan hilal tiap tahunnya. Kenakaragaman cara melihat hilal adalah khasanah keislaman yang harus dilestarikan.
"Mari kita lanjutkan misi!" perintah Ahmad. Mereka cepat berkemas. Siap melakukan pemetaan di malam hari dengan teknik dokumentasi malam terhadap beberapa reruntuhan candi purba di jalur turun Jolotundo, Trawas Mojokerto.
Mereka menuruni lereng-lereng Gunung penanggungan dengan ceria. Apalagi hilal sudah terlihat. Sepertinya mau ngebut saja untuk cepat sampai di base camp pondok pesantren untuk bersiap takbir dini hari.Â
Aisyah yang puteri sendirian itu tampak kelelahan. Bernyanyi kecil sambil terus menuruni lereng-lereng curam dan terjal. Dikira nyayian kecil itu bisa meredam letih. Lelah tetaplah lelah. Rasa yang paling dikenangnya adalah saat Ahmad mengucapkan bahwa hilal sudah terlihat. Yang berarti bahwa Lebaran besok tiba. Pastinya si Ahmad akan segera mengucapkan selamat Idulfitri kepada bapak ibunya.