Secuil pengalaman kami berinteraksi dengan mereka, para pendaki Buddha ketika bertemu dalam pendakian di Bulan Ramadan. Perkenalan kami di Base Camp pendakian di Baderan Bondowoso adalah awal simbiosis lintas agama yang sungguh berkesan ini. Begitu hangat, ketika kami para pendaki disatukan oleh alam tanpa memandang perbedaan keyakinan dan selalu saling menghormati.Â
Terik matahari yang menyengat tak surutkan semangat Puasa Ramadan kami. Tetap semangat melangkah bersama kawan-kawan pendaki Buddha. Setelah beberapa jam menembus hutan lebat, mereka baru sadar bahwa kami telah berjibaku mempertahankan puasa Ramadan.Â
Saat yang lain segar dengan tegukan air dari tempat minum masing-masing, kami berempat hanya mematung. Â Tak bisa kami sembunyikan tanda-tanda dehidrasi seperti mimik wajah pucat khas dan kelupasan epidermis mukosal bibir yang membiru.
"Kalian puasa?"
"Iya."
Setelah saling susul dengan rombongan mereka, akhirnya kami berhenti di sekitar titik HM 67, atau beberapa meter lagi pos mata air 2 Cemoro Lawang Gunung Argopuro.Â
Waktu berbuka akan segera tiba. Kami segerakan berbuka dengan mempersiapkan makanan ala kadarnya. Hingga akhirnya kawan kita menyusul, sambil sebagian ikut nimbrung melihat kami persiapkan berbuka.
"Ini ada air lebih. Silahkan ambil," tawar mereka.
"Alhamdulillah,"respon salah seorang dari kami.Â
Seorang dari mereka yang cantik ingin lama nimbrung. Sambil geleng-geleng melihat logistik untuk berbuka yang sangat sederhana, jauh dari 4 sehat 5 sempurna.Â
Berhubung kode etik semi diklatsar pengembaraan yang mengharuskan disiplin ala moving together, si cantik terpaksa beranjak menyusul teman-temannhya menuju pos mata air 2. Kedisiplinan tetap terjaga walau terlihat santai.
Untuk kedua kalinya kami bertemu lagi di pos mata air 2. Dalam remang api unggun, si cantik datang lagi sambil membawa hantaran lezat perkedel sosis yang hangat. Kami melahapnya, begitu lezat! Selezat hormat dan toleransi kalian kepada kami. Ketika kami tahu bahwa kalian berusaha sembunyi-sembunyi  saat teguk air tadi siang.Â
Jauh di dalam belantara sana, toleransi terbangun begitu kuat. Tak seribut gaya mengemis  ta'dzim (penghormatan) antara orang berpuasa dan tak berpuasa di keramaian. Begitu sederhana dan cemerlang. Kami penempuh rimba belajar toleransi dari alam.