If I panic, everyone else panics, --- Kobe Bryant
Sebuah petikan dari Kobe Bryant, pebasket terkenal dari Amerika Serikat, cukup menarik untuk mengawali bahasan bertema fenomena kalap berbelanja makanan ini. Â
Naluri mempertahankan diri, kalau dalam referensi Islami disebut dengan gharizah al baqa'. Naluri ini ada dan kekal dalam diri manusia guna dipergunakan untuk survival hidupnya.
Naluri mempertahankan (gharizah al baqa') berkaitan erat dengan dua eksponen pembangun kepanikan yaitu roja' dan khauf (harap dan cemas). Dari quote di atas, jika saya panik, tentunya yang lain akan panik juga sudah cukup menjadi bukti bahwa kepanikan itu menular.
Berawal dari naluri memertahankan diri yang berujung pada harap dan cemas (roja' dan khauf), manusia akan memroduksi kebijaksanaan sebagai ciri khas makhluk yang sempurna (insan kamil). Fenomena kalap berbelanja erat kaitannya dengan naluri memertahankan diri. Ketika ada ancaman yang cukup sulit diketahui kapan berakhirnya, semisal pandemi Covid-19, naluri memertahankan diri otomatis muncul. membeli bahan-bahan pokok dengan jumlah lebih untuk pertahanan hidup adalah lumrah dalam keadaan darurat seperti ini.
Namanya naluri, ledakannya besar, masif dan signifikan. Ini ada kaitannya dengan hidup dan magti yang terbangun dari sifat roja' dan khauf (harap dan cemas). Unsur pengetahuan masa lalu bisa jadi akan membuat sahih kalap berbelanja makanan. Tindakan ini sebagai pelajaran masa lalu dengan mengandalkan apa yang mereka ketahui tentang ancaman serupa.Â
Sebut saja jejak pandemi semisal peristiwa The Black Death yang hampir memusnahkan populasi manusia. Wabah pandemi pada abad ke-14, yang membunuh 50 juta orang, atau telah mengurangi 60% populasi Eropa saat itu. Ketika masyarakat membutuhkan barang-barang yang sama, ketika mereka bertanggung jawab memenuhi apa yang memang menjadi kebutuhan, maka disinilah letak kepanikan itu. Â
Namun, sikap bijak sebagai makhluk sempurna yang selalu berpikir, hindari keinginan untuk menimbunnya. Kalap berbelanja sah-sah saja pada batasan yang elegan. Karena memang pada dasarnya keadaan sulit diprediksi.Â
Kalap di sini pada batasan yang cukup dan tidak menimbun. Kalap di sini dalam artian bentuk tanggungjawab naluri memertahankan diri (gharizah al baqa'). Membeli dalam artian yang lebih biak sebagai "persiapan bencana" dan bukanlah sebagai panic buying. Justru irasional jika tanpa adanya usaha membeli untuk persiapan dalam sebuah bencana.Â
Panik yang bisa saja muncul di masyarakat akibat tekanan sosial yang berupa berbagai macam bencana dan keadaan darurat. Situasi dan mekanisme psikologi ini menjadikan apa yang dilakukan orang lain menjadi dasar penilaian instan dan ditiru. Sehingga menjadi bola salju kepanikan yang membesar dan menular. Â
Ketika semua orang membeli makanan atau bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya dan menumpuknya, maka siapapun akan terdorong untuk melakukan hal yang sama. Antisipasi hal negatif dari keadaan ini adalah berpikir jernih seperti yang disebutkan di atas. Apakah itu?Â
Tentunya membeli atau berbelanja dalam takaran yang cukup untuk stok sebagai antisipasi keadaan yang sulit diprediksi. Kemudian tidak berhasrat untuk menimbunnya atau menjual kembali dengan harga yang mencekik.Â
Kalap berbelanja harus diimbangi dengan sikap-sikap mulia sebagai makhluk yang sempurna dan selalu berpikir. Ketika tetangga ataupun siapa saja tidak mendapatkan makanan atau bahan pokok yang sama, sudi kiranya untuk berbagi, walau itu harus bayar. Ini merupakan bentuk partisipasi distribusi yang merata.Â
Jika mempunyai jiwa altruisme (beramal) yang tinggi, bisa jadi akan digratiskan. Peran lain yang tak kalah penting dalam meredam efek negatif kalap berbelanja adalah peran pemerintah.
Jangan sampai kepercayaan publik terhadap pemerintah untuk menangani krisis semacam ini menurun. Sehingga masyarakat makin meningkatkan nafsu kalap berbelanjanya. Pemerintah juga harus mengeluarkan himbauan bagi pelaku usaha ritel agar meratakan distribusi dan tidak menaikan harga.
Sikap bijak lainnya adalah mengenai preferensi nilai guna barang. Fenomena yang terjadi saat krisis Covid-19 adalah meningkatkan harga-harga dan akuisisi barang-barang penting dari tangan orang-orang yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan (seperti masker wajah untuk para pekerja kesehatan). Begitupun tentang berbelanja makanan dan kebutuhan bahan pokok lainnya, sempatkan untuk berpikir dan menimbang seperti di atas.Â
Ketakutan yang tidak mendasar akibat kurangnya pengetahuan akan menghasilkan tindakan dramatis, membeli secara besar-besaran barang-barang tanpa pertimbangan preferensi nilai guna dan manfaatnya.Â
Benar adanya bahwa naluri memertahankan diri dari sesuatu yang mengancam adalah tindakan rasional. Namun lebih bijak lagi jika ada pertimbangan preferensi nilai daya guna barang yang dibeli. Berpikir jernih dengan pertanyaan simpel, "Adakah yang lebih membutuhkan?"
Ketika ketenangan dan berpikir jernih terbentuk, maka ia akan mendahului semua terbentuk tindakan negatif dan menghasilkan keputusan yang lebih baik daripada saat membuat keputusan dalam keadaan panik dan ketakutan.
Selamat berbelanja dan jangan panik!
Referensi:
- bbc.co.uk, Human Instinct
- islamreligion.com, Instincts,Science and Religion
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H