Kebijakan moneter yang tepat agar makroprudensial aman terjaga merupakan benteng tangguh kestabilan sistem keuangan dalam survival pandemi. Sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab, sudah saatnya cerdas berprilaku untuk mendukung kebijakan pemerintah itu.Â
Cerdas dalam artian paham bahwa kestabilan sistem keuangan sangat penting bagi keberlangsungan hidup negara dan transmisi kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia.Â
Cerdas berprilaku dalam ejawantah memahami bahwa jika terganggunya sistem keuangan itu dapat menyebabkan kerugian bagi negara dan berpotensi menurunkan pendapatan negara hingga level terpuruk. Lalu bagaimana lagi cerdas berprilaku yang dapat dikategorikan mendukung kebijakan makroprudensial tersebut?
Penulis akan membagikan pengalaman tentang altruisme. Sebuah cara cerdas berprilaku berbasis pengalaman pribadi beberapa bulan lalu sebelum pandemi Covid-19 merebak luas.Â
Penulis sempat menghadiri acara Haul (peringatan kematian tokoh) Guru Sekumpul di Martapura Kalimantan Selatan yang terkenal dengan jumlah peserta dan peziarahnya yang mencapai jutaan itu. Apa yang dipersiapkan masyarakat Kalimantan Selatan untuk mendukung acara super besar itu?
Jawabnya simpel, altruisme!
Apakah altruisme itu?Â
Tentunya akan lebih jelas jika diperinci dari pengertian dasar yang bersumner dari ilmu pengetahuan dan pengalaman. Dari sanalah akan bersumber logos-logos (data empiris) serta menghalau mitos-mitos (skeptisme dan sinisme).
pada awal perkembangannya, altruisme dianggap sebagai tindakan yang kurang logis dan irasional serta memberatkan bagi neraca untung-rugi. Altruisme adalah ajaran universal tentang sebuah sikap yang tidak mementingkan diri sendiri dan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan orang lain.
Bahkan, sosiolog Amerika kelahiran Rusia, Pitirim Sorokin dalam karyanya yang terbit pasca Perang Dunia II (1948:60) mendefinisikan altruisme sebagai: the action that produces and maintains the physical and/or psychological good of others. It is formed by love and empathy, and in its extreme form may require the free sacrifice of self for another.
Motif pengorbanan, empati dan cinta dari definisi di atas  cukup menarik untuk mendampingi upaya rekonstruksi dan pemulihan masyarakat Barat waktu itu yang baru saja rusak akibat Perang Dunia Kedua.Â
Spirit altruisme ini cukup efektif mengatasi permasalahan ekonomi yang bisa dikatakan bukan reses lagi, tapi kehancuran total akibat perang!
Melihat kekuatan spirit altruisme tersebut, Sorokin yang waktu itu menjadi Guru Besar Sosiologi di tahun 1951 telah mendirikan Harvard Research Centre for Creative Altruism.Â
Lembaga ini  khusus untuk mengkaji bagaimana altruisme beserta komponennya dapat dibenamkan dengan sukses ke dalam kerasnya dunia individualistik-materialisme.
Sedang Auguste Comte mendefinisikan altruisme sebagai living for others. Dalam Bahasa Prancis ditulis sebagai “vivre pour autrui" dengan parafrasa bebas seperti ini: it follows that happiness and worth, as well in individuals as in societies, depend on adequate ascendancy of the sympathetic instincts. Thus the expression, Living for Others, is the simplest summary of the whole moral code of Positivism.
Baik Sorokin ataupun Comte menekankan bahwa altruisme merupakan prasyarat moral bagi terbitnya zaman positivisme. Zaman di mana manusia mencapai tingkat tertinggi dalam rasionalitasnya di tengah derap pacu kerasnya materialistik yang selalu berbasis untung-ruginya belaka.Â
Begitu pula dengan motif altruisme masyarakat Banjar dalam acara akbar tersebut. Mereka rela menyediakan semua akomadasi peziarah adan tamu dengan suka rela. Mulai dari makanan, tempat tinggal hingga sarana angkutan digratiskan selama berhari-hari. Mereka seolah merekonstruksi reses massa (tamu/peziarah) yang sangat membludak itu.Â
Sungguh menyedihkan ketika pandangan ekonomi dan kebijakan sosial materialistik telah memandang rendah altrusime. Bahkan lebih jauh lagi, mengesampingkannya dalam kemaslahatan masyarakat.Â
Ringkasnya, janganlah spirit altruisme sebagai ide maupun praktik makin dipinggirkan. Dengan menyorot sisi mutlak kemandirian dan swasembada, maka sisi probabilitas penyelesaian masalah yang berbasis kedermawanan akan sukses dengan altruisme.Â
Spirit altruisme dapat diterapkan untuk menghindari kecenderungan prilaku negatif di tengah pandemi ini. Altruisme akan mencegah orang untuk tidak melakukan  aksi rush atau penarikan besar-besaran uang dari bank.Â
Spirit ini juga akan mencegah mereka yang ingin melakukan penimbunan, aksi-aksi berbagai macam ketakutan ekonomi yang tak beralasan. Ataupun fobia-fobia nilai ekonomis yang tak perlu dilakukan.Â
Memang spirit altruisme tak sehebat strategi dan kebijakan makroprudensial dalam skala moneter tingkat tinggi. Namun, altruisme akan mendukung jalannya kebijakan makroprudensial tersebut.Â
Pahami sekali lagi, bahwa kebijakan makroprudensial bertujuan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik. Kebijakan makroprudensial yang didukung oleh sikap altruisme merupakan cerminan cerdas berprilaku. Keduanya akan mendorong keberhasilan fungsi intermediasi, efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan yang telah digalang oleh kebijakan makroprudensial.Â
Referensi:
Libertarianism, Ayn Rand and Altruism Part 1
Philosophybasics.com, Branch Altruism
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H