Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pemerintah dan Permasalahan Ekonomi Bawah Tanah

18 April 2020   16:30 Diperbarui: 18 April 2020   16:35 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels/Energepic.com

Musik underground (bawah tanah) adalah aliran musik yang bergerak secara bebas. Musik bawah tanah tentunya menempatkan dirinnya di jalur antimainstream. Mulai dari punk, metal, dan lainnya.

Musik bawah tanah identik dengan gairah kebebasan. Lagu-lagunya tentunya lebih menekankan kepada kebebasan berekspresi. Sebuah nafsu liberal yang menyeruak di bawah tanah hingga mencuat ke permukaan.

Sama halnya dengan ekonomi bawah tanah (underground economy), ia mengalir bebas di bawah tanah untuk menghindari pajak pemerintah. Entah ini kebebasan berpenghasilan yang sengaja adanya tanpa campur tangan pemerintah (tidak bayar pajak) atau sebuah kelicikan taktis yang terus-menerus dilakukan untuk menikmati laba tanpa potongan pajak.

Yang pasti, underground economy ataupun sebutan lainnya, black economy menjadi sasaran pemerintah untuk menaikkan penghasilan pajaknya.

Mungkin, di benak para pelaku underground economy, pemerintah janganlah terlalu ikut campur mengenai kebebasan berpenghasilan. Kebebasan menikmati jerih payah, kebebasan untuk bergelimang dengan penghasilan dari keringat sendiri.

Bisa jadi para pelaku ekonomi bawah tanah berasumsi bahwa Indonesia tidak perlu memungut pajak dari warganya, lantaran melimpahnya kekayaaan Indonesia. Sebuah nalar sederhana yang pantas juga dilontarkan.

Indonesia memang kaya jika dilihat dari kekayaan sumber daya alamnya. Tentang cukup tidaknya kekayaan tersebut untuk pembangunan, mereka juga tidak wajib tahu.

Jika pemerintah mengatakan bahwa ini bukan lagi soal kerelaan warga untuk menyerahkan sebagian pendapatannya untuk negara, lebih dari itu, pajak ditetapkan sebagai bentuk kontribusi warga negara Indonesia yang baik untuk ikut membangun negeri. Klasik memang, bak kisah upeti di jamannya.

Bukan hanya Indonesia, semua negara yang berbasis pungutan pajak, tak lepas dari masalah ekonomi bawah tanah.

Underground economy yang dideskripsikan ketat ala pakar ekonom sebagai semua kegiatan ekonomi baik secara legal maupun ilegal yang terlewat dari perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebagai bukti, pada tahun 2017 dalam sebuah pertemuan Eleventh Meeting of The Forum on Tax Administration di Oslo, Norwegia, diketahui besaran praktik underground economy di negara berkembang telah berada di atas 10% hingga 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sedang rata-rata praktik underground economy negara maju besaran praktik ini hanya berkisar 1%-10% dari PDB. Besaran ini dapat merefleksikan rendahnya tingkat kepatuhan dan belum sempurnanya sistem perekonomian maupun regulasi yang berlaku dalam suatu negara.

Apa hubungannya dengan Produk Domestik Bruto (PDB)? Hal ini dapat dipahami karena semakin meningkatnya kegiatan underground economy mengakibatkan kinerja perekonomian yang berbasis besaran Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi remang-remang tak terukur secara presisi.

Besaran PDB tahun 2018 tercatat sebesar Rp 14.837 triliun, dan kegiatan ekonomi yang tidak tercatat (unreported) atau underground economy mencapai Rp 1.400 triliun lebih.

Kemudian bukti lain sebagai contoh praktik underground economy di Indonesia pada tahun 2018, penerimaan pajak hanya terealisasi Rp1.315,9 triliun atau 94% dari target keseluruhan.

Sementara itu, praktik underground economy ini sendiri berhasil mencatatkan total pencapaian sebesar kurang lebih Rp1.400 triliun, angka yang dirasa lebih dari cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan Indonesia untuk satu tahun berjalan.

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak pada 2018 sebesar Rp 1.315,9 triliun atau hanya 92,4% dari target dalam APBN sebesar Rp 1.424 triliun.

Dari data tersebut telah terlihat pula adanya kekurangan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 108,1 triliun.

Pemerintah mengidentifikasi tidak tercapainya target pajak selama ini akibat adanya underground economy yang sulit dipungut, baik itu dari usaha legal maupun ilegal yang sengaja dilakukan untuk menghindari kewajiban administratif dan perpajakan

Masalah underground economy tidak hanya dihadapi Indonesia. Hampir semua negara memiliki masalah dengan underground economy, termasuk negara maju yang memiliki PDB per kapita jauh lebih tinggi dari Indonesia.

Besarnya ekonomi bawah tanah atau underground economy tersebut membuat ekonomi terdistorsi dan tumbuh di bawah potensi riil. Padahal, jika aktivitas tersebut terdata dengan baik, pertumbuhan ekonomi lebih kondusif.

Secara garis besar ekonomi bawah tanah ini meliputi aktivitas ilegal maupun legal. Ilegal berarti bertentangan atau melawan hukum yang berlaku, seperti illegal fishing, illegal mining, illegal logging, dan aktivitas lainnya.

Termasuk pula kegiatan penyelundupan barang-barang atau benda mati keluar negeri dan juga penyelundupan hewan-hewan langka yang dilindungi. Begitupun sebaliknya arus masuknya barang-barang ke Indonesia yang tanpa melalui bea cukai.

Kemudian juga pasar ilegal dimana barang dan jasa diproduksi, diperjualbelikan dan dikonsumsi secara illegal. Aktivitas tersebut dikategorikan ilegal karena tidak dibenarkan secara hukum, seperti peredaran obat terlarang, prostitusi, dan lainnya.

Lebih jauh lagi, aktivitas barter, pencurian untuk digunakan sendiri, produksi obat-obatan terlarang untuk penggunaan sendiri.

Sedang yang dimaksud dengan aktivitas legal yang termasuk underground economy bisa berupa produksi barang dan jasa yang legal namun dengan sengaja diperjualbelikan secara tertutup dengan berbagai alasan.

Alasan tersebut seperti pendapatan dan aset dari pekerjaan yang tidak dilaporkan dari barang dan jasa yang yang legal. Termasuk pula pembayaran di bawah faktur, diskon untuk karyawan, dan tunjangan.

Aktivitas tersebut mengerucut untuk menghindari pembayaran pajak, menghindari pembayaran konstribusi perlindungan sosial; menghindari standar yang telah ditetapkan seperti upah minimum, waktu kerja maksimum, standar keselamatan dan lainnya.

Intinya menghindari persetujuan terhadap prosedur administrasi yang telah ditetapkan. Termasuk juga segala aktivitas ekonomi yang tidak sah, terkandung pendapatan kegiatan ekonomi, serta melanggar undang-undang atau bertentangan dengan peraturan hukum.

Bagi pemerintah deteksi underground economy penting dikarenakan berpengaruh ke tingkat komunal, yaitu menekan besarnya beban pajak yang harus ditanggung para pelaku ekonomi dan warga.

Solusinya tentunya pajak yang lebih ringan dan bersahabat. Meningkatnya aktivitas dan pelaku underground economy baik yang dulunya wajib pajak atau bukan adalah reaksi logis dari keadaan yang merasa tertekan dan terbebani oleh pajak yang tinggi. Pajak yang harus ditanggung pelaku ekonomi dinilai terlalu dan sangat memberatkan.

Pajak yang diwajibkan dan dibebankan selayaknya menganut asas keadilan. Artinya jika pendapatan sediki, maka dikenakan pajak yang kecil. Begitu juga sebaliknya. Dan, yang pasti dan harus mendapat perhatian yang tidak punya pendapatan ya tidak dipungut pajak. Malahan negara wajib memelihara mereka.

Sejumlah langkah pemerintah untuk mengurangi pelaku dan antusias underground economy adalah meningkatkan pendataan wajib pajak perorangan. Di samping itu perlu juga ditingkatkan pengawasan di semua sektor kegiatan ekonomi untuk mencegah praktik-praktik ilegal.

Semoga pajak yang dibayarkan berimbang dengan mutu pelayanan fasilitas publik, perekonomian yang sehat, keamanan yang kuat dan kestabilan ekonomi yang mumpuni.

Referensi: DDTC, Pajak, Investor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun