(perbandingan penanganan kasus dugaan penodaan agama antara Ahok dan Rusgiani)
Saya baru saja melihat video wawancara Pak Kapolri mengenai kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Ahok, terus terang saya terkejut dengan pernyataan2 Pak Kapolri, yang menimbulkan kesan seperti membela Ahok. Akan tetapi saya berusaha berprasangka baik kepada beliau, mungkin beliau khilaf karena berada dalam tekanan, mengingat kasus ini sangat mendapat sorotan dari masyarakat. Sebagai seorang Kapolri tentunya beliau paham prinsip equality before the law, semua orang harus diperlakukan sama dimata hukum, termasuk seorang Gubernur yang dikenal dekat dengan penguasa.
Untuk menilai apakah kasus Ahok mendapat perlakuan hukum yang adil atau tidak, kebetulan ada kasus sejenis yang belum lama ini terjadi, yaitu kasus Rusgiani, seorang ibu rumah tangga yang diputus bersalah oleh PN Denpasar karena ucapannya yang dianggap menyinggung Umat Hindu. Kasus ini mempunyai beberapa kemiripan dengan kasus Ahok, oleh karena itu tentunya kita berharap kasus Ahok mendapat perlakuan hukum yang setara dari penegak hukum.
Berikut beberapa point penting yang saya ambil dari putusan PN Denpasar yang telah berkekuatan hukum tetap, selengkapnya dapat di download di sini
Sama dengan Ahok, Rusgiani diduga melanggar pasal 156 a KUHP mengenai penistaan agama yang disebabkan oleh ucapannya.
Terhadap Rusgiani dilakukan penahanan setelah kasus dilimpahkan ke Penuntut Umum dalam jangka waktu kurang lebih 5 bulan setelah perbuatan dilakukan
Ada dua versi kata2 yang diucapkan oleh Rusgiani, versi Rusgiani sendiri dan versi saksi2 pelapor, beda dengan kasus Ahok, tidak ada rekaman videonya, oleh karena itu tidak dapat dibuktikan secara pasti versi mana yang benar.
Dari dua versi yang ada tentunya terdapat perbedaan interpretasi arti ucapan yang sangat signifikan antara versi Rusgiani dan versi Saksi yang mendengar ucapan tersebut. Berikut saya copy paste kedua versi ucapan tersebut dari putusan pengadilan PN Denpasar: versi saksi yang mendengar “Tuhan tidak bisa datang ke rumah ini karena ada canang dan canang itu jijik dan kotor” sementara versi terdakwa “Menurut keyakinan saya bahwa canang adalah kenajisan bagi Tuhan sehingga menghambat kehadiran Tuhan untuk datang dan itu adalah suatu kejijikan bagi Tuhan”.
Rusgiani diputuskan bersalah melanggar pasal 156 a KUHP dengan hanya 3 alat bukti yang diajukan penuntut umum, yaitu 2 saksi yang mendengar ucapan Rusgiani, dan satu saksi ahli dari PHDI (Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia), PHDI ini mungkin untuk kasus Ahok setara dengan MUI.
Salah satu pertimbangan hakim ketika melakukan vonis atas kasus tersebut yang saya anggap sangat relevan dengan kasus Ahok adalah sebagai berikut (saya copy paste lagi): “Menimbang, bahwa menurut keterangan saksi I Nyoman Kenak selaku Ketua PHDI (Persatuan Hindu Dharma Indonesia) Cabang Denpasar dan juga merangkap Sekretaris PHDI Bali, dimana menurut saksi baik itu kata-kata yang diucapkan oleh terdakwa versi saksi Ni Nengah Suliati maupun kata-kata yang diucapkan oleh terdakwa versi terdakwa sendiri adalah tetap perkataan tersebut dapat menyinggung perasaan Umat Hindu dan dapat mengganggu keharmonisan atau kerukunan antar umat beragama dan menurut saksi perbuatan Terdakwa tersebut telah menodai Agama Hindu”.
Pertimbangan yang saya copy paste tersebut masuk kedalam bagian “Unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu Agama yang dianut di Indonesia” dari pertimbangan hakim dalam putusan PN Denpasar.