oleh: Selvi Maqfiroh (200810101080)
Selama empat tahun terakhir kondisi siklus keuangan di Indonesia menggambarkan fase kontraksi yang mengartikan bahwa pertumbuhan kredit dan pembiayaan perbankan mengalami penurunan. Kontraksi siklus keuangan sejalan dengan kondisi siklus ekonomi yang juga mengalami kontraksi yang digambarkan oleh PDB. Beberapa fenomena yang menjadi latar belakang kontraksi baik pada siklus keuangan ataupun siklus ekonomi di Indonesia adalah eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok serta pandemi Covid-19.Â
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok menjadikan sistem keuangan Indonesia rentan, kerentanan tersebut dipengaruhi oleh keterkaitan kinerja perbankan terhadap kinerja korporasi yang dibiayainya. Pelemahan kinerja korporasi akibat dampak perang dagang dan harga komoditas menyebabkan permintaan kredit menurun sehingga pertumbuhan kredit melambat. OJK mencatat adanya perlambatan penyaluran kredit perbankan pada tahun 2019 dengan pertumbuhan 6,08 persen (yoy) atau turun dibandingkan 2018 yang tumbuh 11,7 persen. Fase kontraksi kian memburuk akibat adanya pandemi covid-19 di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan guna mengurangi rantai penyebaran pandemi Covid-19 seperti PSBB dan WFH, namun kebijakan ini menyebabkan berkurangnya jumlah konsumsi Rumah Tangga dan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga. Sebagai akibat lanjutan dari penurunan 2 indikator tersebut Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 sebesar -2,07 persen (Kemenkeu, 2021). Â
Kedua fenomena ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kondisi ekonomi yang kemudian mempengaruhi kondisi siklus keuangan dan mengancam stabilitas sistem keuangan Indonesia. Dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dari fenomena yang merugikan bagi perekonomian Bank Indonesia menerapkan pelonggaran kebijakan makroprudensial. Penggunaan kebijakan makroprudensial dilakukan untuk mengurangi pengambilan risiko yang berlebihan oleh agen ekonomi utamanya lembaga intermediasi pada kedua fase siklus keuangan utamanya dalam pemberian kredit (FSBIMF-BIS (2011)).
Sesuai dengan sifat dari kebijakan makroprudensial yang countercylical, pada fase kontraksi terbaru siklus keuangan tahun 2018-2021 di Indonesia, Bank sentral menerapkan beberapa pelonggaran kebijakan makroprudensial dengan tujuan untuk memperluas pembiayaan perbankan dan pertumbuhan kredit, kebijakan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
- Melonggarkan LTV/FTV untuk KPR dan Memperluas Akses Keuangan UMKM. Bank Indonesia memberikan kewenangan kepada masing-masing lembaga perbankan untuk menentukan besaran rasio LTV/FTV untuk fasilitas kredit pertama yang ditetapkan sebesar 85-90 persen. Selain itu Bank Indonesia menurunkan batasan minimum uang muka pemberian Kredit Kendaraan Bermotor atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang dari kisaran 5 persen-10 persen menjadi 0 persen.
- Bank Indonesia menentapkan RIM sebesar 84-94 persen
- Bank Indonesia juga meningkatkan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dalam bentuk aturan SSB sebesar 4-6 persen dari DPK Rupiah
- Bank Indonesiamenetapkan rasio CCB sebesar 0 persen
- Pelonggaran kebijakan makroprudensial ini berhasil meningkatkan pembiyaan perbankan dan panyaluran kredit setiap tahunnya selama fase kontraksi siklus keuangan, hal ini ditandai dengan perubahan fase kontraksi ke ekspansi pada tahun 2022.
Namun disamping pembiayaan perbankan dan penyaluran kredit yang meningkat, terdapat risiko lain yang juga muncul akibat dari pelonggaran kebijakan makroprudensial, risiko yang dimaksud adalah meningkatnya persentase kredit macet di Indonesia. Di satu sisi, pelonggaran kebijakan ini dapat memberikan dorongan bagi akses lebih mudah terhadap kredit, yang pada gilirannya dapat merangsang aktivitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, langkah ini juga membuka peluang untuk peningkatan risiko kredit macet.
Berdasarkan data selama empat tahun terakhir kredit macet atau kredit bermasalah di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya dan pada saat yang sama kebijakan makroprudensial ekspansif sedang diberlakukan. Kondisi ini menandakan adanya peluang dan risiko yang dihadapi ketika kebijakan makroprudensial ekspansif diberlakukan. Selain itu, kondisi seperti ini juga menandakan adanya kontradiksi antara tujuan kebijakan makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan output risiko kredit macet yang dihasilkan. Fenomena risiko kredit macet terjadi ketika para peminjam tidak dapat lagi memenuhi kewajiban mereka dalam pembayaran pinjaman yang disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah ketidakstabilan ekonomi. Sejalan dengan kalimat tersebut, kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil selama 4 tahun terakhir menjadikan pelonggaran kebijakan makroprudensial cukup berisiko. Ketika peraturan yang mengendalikan pemberian kredit dilonggarkan, ada potensi untuk meningkatnya pemberian kredit kepada pihak-pihak yang sebelumnya dianggap berisiko. Inilah yang menimbulkan kekhawatiran, karena meningkatnya pemberian kredit kepada debitur yang beresiko bisa membuka jalan bagi peningkatan kredit macet. Salah satu kebijakan makroprudensial yang dianggap berisiko untuk diimplmentasikan adalah penurunan batasan minimum uang muka pemberian Kredit Kendaraan Bermotor atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang menurun drastis dari kisaran 5 persen-10 persen menjadi 0 persen. Selain itu perubahan kebijakan LTV juga turut mendorong risiko kredit macet meningkat, dari 80-90 persen menjadi 85-90 persen.
Risiko kredit macet yang dihasilkan dari penerapan pelonggaran kebijakan makroprudensial tentu perlu diperhatikan oleh lembaga keuangan di Indonesia, mengingat sampai dengan saat ini tidak terdapat aturan khusus yang mencakup pencegahan terjadinya risiko kredit macet ditengah implementasi kebijakan kemudahan kredit oleh Bank sentral. Aturan yang tersedia saat ini hanya mencakup solusi dari fenomena pasca kredit macet yang tertuang dalam peraturan OJK Nomor 32 /Pojk.03/2018 tentang batas maksimum pemberian kredit dan penyediaan dana besar bagi bank umum. Peraturan ini menjelaskan upaya-upaya perbankan yang dapat dilakukan untuk mengatasi fenomena kredit macet yang dialaminya. Adapun kunci untuk mengurangi risiko kredit macet di tengah pelonggaran kebijakan makroprudensial adalah dengan menemukan keseimbangan yang tepat antara dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sektor keuangan. Ini membutuhkan kebijakan yang cerdas, adaptif, dan responsif terhadap setiap perubahan yang terjadi dalam perekonomian.
Referensi
Bank Indonesia. (2016). Mengupas Kebijakan Makroprudensial. Jakarta: Bank Indonesia.