Mohon tunggu...
Irsyad Das
Irsyad Das Mohon Tunggu... Konsultan - Konselor Pendidikan

Membantu kehidupan efektif sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belasting Rijder

28 Februari 2023   18:19 Diperbarui: 28 Februari 2023   18:22 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Belasting" mengingatkan kita pada sejarah Perang Kamang dan Manggopoh (1908). Itu perang rakyat melawan kolonial Hindia Belanda akibat pemberlakuan pajak langsung atas tanah, rumah tangga, hewan ternak, serta segala macam properti dan transaksi. 

Perang Belasting yang kemudian meluas ke berbagai daerah di Sumatera Barat sesungguhnya pemberontakan rakyat yang merasa ditindas lewat beban pajak oleh pemerintah kolonial. 

Menghadapi perlawanan rakyat itu, pemerintah mengirim Korp Marsose, yaitu pasukan bayaran yang dikenal suka mabuk-mabukan, berjudi dan memperkosa wanita. 

Kata "belasting" karenanya menjadi ingatan kolektif kita tentang jenis penindasan penjajah pada rakyat pribumi melalui semacam upeti. 

Kata ini mencuat ke publik beberapa hari terakhir. Itu gara-gara Menkeu Sri Mulyani minta Belasting Rijder DJP dibubarkan. Ini komunitas penyuka motor besar aka Moge yang beranggota pegawai dan pensiunan Direktorat Jenderal Pajak. 

Dari bahasa Belanda, "belasting rijder" ke English "tax rider" terjemah lebih kurang "penunggang pajak." Alasan bu menteri membubarkan komunitas Moge karena hobi dan gaya hidup semacam ini menimbulkan persepsi negatif masyarakat dan kecurigaan mengenai kekayaan pegawai kantor pajak. 

Menurut bu menteri, memamerkan Moge (a.l. dengan cara konvoi di jalan) melanggar azas kepatutan dan kepantasan publik. Singkatnya, bikin rakyat sakit hati. 

Sebelumnya beredar banyak komentar dan meme di media sosial mengandung kritik dan satire soal integritas pegawai kantor pajak. Misalnya "Ogah bayar pajak", "Zakat dari si kaya untuk si miskin, pajak dari si miskin untuk si kaya." 

Ada sebuah meme bergambar sepeda motor keluaran 1980-an dengan caption "Pembayar Pajak" bersanding mobil Rubicon ber-caption "Pegawai Pajak", "Tetap bayar pajak ya karena belum semua pegawai pajak punya Rubicon." Koran Tempo (27/2) menulis headline "Tajir Melintir Pejabat Pajak", menyoal integritas pegawai pajak. 

Soal meme bergambar mobil Rubicon bermula dari kasus penganiayaan oleh seorang pemuda bermobil seharga lebih 1 miliar itu. 

Pemuda dimaksud tidak lain daripada putra salah satu pejabat Ditjen Pajak.Video penganiayaan terhadap anak di bawah umur hingga koma dan menderita cedera otak traumatis (DAI) tersebut viral, dan dikecam banyak kalangan. 

Netizen mengulik asal-usul pelaku hingga menyasar pacarnya, ayahnya berserta segala harta kekayaannya, tak pelak pula berdampak pada reputasi pegawai kantor pajak. 

Penggunaan kata "belasting" sebagai nama komunitas Moge ini bagi saya menggambarkan kelirunya perspektif sebagian pegawai pajak terhadap sejarah perpajakan. Mereka sampai hati memberi nama komunitas dengan kata peninggalan kaum penjajah yang di dalamnya terkandung sejarah kelam perpajakan itu sendiri. 

Dipakainya kata belasting juga menyiratkan adanya keterlenaan. Terlenanya sebagian pejabat dan pegawai kantor pajak. Mereka lupa diri dan kehilangan kepekaan disebabkan keenakan. Hidup enak, banyak duit, dapat membeli apapun yang diinginkan. Kondisi itu berkembang menjadi kerakusan.* 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun