Dengan perbedaan budaya yang mendasar, Reni tidak perlu membandingkan Mark dengan ipar lainnya. Karena tentu gaya Mark akan berbeda dan tidak bisa sama dengan ipar Reni yang mungkin berasal dari budaya Jawa yang sama. Terima perbedaan tersebut, jangan menjadikan budaya sebagai batasan.
Begitu pula dengan membesarkan anak, suami dan istri harus menyadari bahwa mereka membawa dua budaya berbeda. Setengah Amerika, setengah Indonesia. Tidak ada satu budaya yang menonjol dari lainnya, dan tidak bisa ingin memonopoli, ingin membesarkan anak hanya dari value si ibu. Karena si bapak mungkin akan keberatan. Kecuali jika memang tidak menjadi masalah bagi si suami.Â
Harus dipahami oleh suami istri lintas budaya, contoh dalam kasus Mark dan Reni di atas, tidak  berarti budaya Jawa lebih baik dari Amerika atau sebaliknya. Ini menjadi pekerjaan rumah orang tua untuk tidak egois dengan budaya sendiri. Harus paham bahwa anak juga harus mengetahui dan mempelajari kedua budaya orang tuanya dalam porsi yang sama besar. Anak juga harus menyadari bahwa memang mengalir darah Amerika dan darah Jawa dalam dirinya.
Memang akan banyak kerumitan dalam membina pernikahan lintas budaya (cross-culture marriage), namun dengan membekali diri ke Konselor Pernikahan, Anda akan dibekali dan "dilatih" untuk menguasai berbagai skill yang diperlukan untuk menghadapi perbedaan yang ada dan bagaimana dapat menemukan solusi yang win-win untuk berbagai perbedaan yang ada.
Dan dalam pernikahan beda budaya, jika mampu dikelola dengan baik juga memiliki kelebihan karena adanya excitement tersendiri karena ada banyak hal menarik yang bisa kita gali dan pelajari dari budaya pasangan kita. Dapat membuat perjalanan pernikahan menjadi lebih "seru" dan bervariasi.
Salam Sejahtera,
Elly Nagasaputra, MK, CHt
Marriage Counselor & Hypnotherapist
- healing hearts -- changing life -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H