Mohon tunggu...
Elly Nagasaputra MK CHt
Elly Nagasaputra MK CHt Mohon Tunggu... Administrasi - Konselor Pernikahan dan Keluarga

Konselor Profesional yang menangani konseling diri, konseling pra-nikah, konseling pernikahan, konseling suami istri, konseling perselingkuhan, konseling keluarga. www.konselingkeluarga.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Keluarga Besar yang Merecoki

17 Mei 2018   08:54 Diperbarui: 17 Mei 2018   09:05 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.motherforlife.com

Saya, Siska (39) dan suami, Anton (40), sudah menikah selama 9 tahun dan memiliki 2 anak laki-laki berusia 9 dan 6 tahun. Sejak menikah, kami tinggal di rumah ibu saya. Rumah keluarga kami sangat luas. Kakak dan adik saya tinggal di rumah mereka sendiri, namun kami masih satu lingkungan. Istilahnya, kami berbagi halaman rumah. Sedangkan saya dan suami menempati rumah orang tua.

Setelah memutuskan berhenti kerja setahun lalu, saya sudah berkomitmen untuk mengurus anak dan rumah. Sedangkan suami, akan full bekerja. Selama ini, sebagai arsitek, suami memang banyak kerja di rumah. Kebetulan ia tidak harus selalu datang ke kantor. Hanya jika ada meeting atau proyek yang akan digarap.

Sejak menjadi ibu rumah tangga, otomatis semua pekerjaan di rumah saya yang melakukannya. Mulai dari membersihkan rumah, memasak, mempersiapkan anak-anak berangkat sekolah, termasuk mengantar mereka ke sekolah. Sebenarnya, mengantar anak ke sekolah sudah menjadi tanggung jawab saya sejak lama, karena suami memang tidak bisa mengendarai mobil. Jadi, ya harus saya yang melakukannya.

Tapi, mungkin karena sekarang saya sering di rumah, ibu dan kakak saya melihat saya mengerjakan semua urusan rumah tangga. Termasuk antar jemput anak. Mereka tidak melihat peran suami saya dalam membantu saya. Karena kondisi tersebut, beberapa kali mereka komplain dan meminta saya untuk berbagi tugas dengan suami. Alasan mereka sih, agar saya tidak kelelahan sendiri.

Sesungguhnya, saya tidak terganggu dengan sikap suami selama ini. Toh, sejak awal, saya memang sudah komitmen untuk mengurus urusan rumah tangga. Hanya saja saya terganggu juga dengan kasrak kusruk ibu dan kakak saya. Lama-lama suami juga merasa tersudut dengan kondisi ini.

Belum lagi, belakangan ada ketegangan antara suami dan kakak saya, karena keinginan keluarga kakak saya untuk memelihara anjing. Sedangkan suami tidak suka jika di rumah ada anjing. Masalahnya adalah, halaman rumah kami menyatu, jadi bisa dipastikan anjing piaraan kakak saya itu akan berkeliaran di halaman rumah kami.

Bagaimana mengatasi hal ini?

Perlu diketahui oleh setiap pasangan suami istri adalah bahwa keluarga itu adalah entitas yang unik. Karena keunikannya, maka tidak ada keluarga yang sama. Satu keluarga dengan keluarga lainnya pasti memiliki perbedaan, perbedaan nilai, perbedaan menghadapi konflik dan juga harus diingat bahwa dua orang yang membangun keluarga ini juga berasal dari individu dengan latar belakang yang berbeda.

Dengan memahami bahwa keluarga adalah sesuatu yang unik, maka apa yang timbul di dalam keluarga tersebut seharusnya datang dari dua individu yang ada di dalamnya, bukan dari pihak luar, sekalipun itu keluarga. Bukan dari orang tua, kakak ipar, mertua dsbnya.

Itu sebabnya, selama ini menjadi Konselor Pernikahan, saya mengingatkan pasangan adalah penting untuk memiliki kemandirian, salah satunya adalah dalam bentuk tinggal terpisah tidak satu atap dengan orang tua atau mertua. Ketika berada di rumah sendiri, mau itu kontrakan atau milik sendiri, maka Anda dan pasangan punya hak dan tanggungjawab yang sama di dalam rumah tersebut. Istilahnya, rumah mau diapakan, bagaimana mekanisme pembagian tugas dalam rumah, ya terserah penghuninya.

Tapi, ketika Anda dan pasangan masih tinggal satu atap dengan orang tua dan keluarga lain, maka pada saat itu pula, aturan yang berlaku di dalam rumah bukanlah aturan Anda dan suami, tapi aturan sang pemilik rumah, dalam hal ini orang tua.

Dalam kasus di atas, gunjingan ibu dan kakak tentang suami yang tidak melakukan apapun, membuat istri menjadi serba salah. Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebagai istri Anda merasa keberatan dengan sikap suami yang tidak mau berbagi tugas rumah tangga? Jika jawaban Anda tidak keberatan, dan Anda merasa nyaman-nyaman saja, maka, sebenarnya tidak ada masalah dengan relasi Anda dan suami. Hanya saja ada orang luar melihat berbeda. Namun perlu diingat bahwa keluarga Anda adalah Anda yang menjalani. Jadi, keputusan seharusnya hanya melibatkan Anda dan suami, bukan keluarga lain.

Tapi jika Anda juga merasa mulai kewalahan dengan tugas-tugas rumah tangga dan membutuhkan bantuan suami, sampaikan hal tersebut secara langsung pada pasangan. Sampaikan bahwa Anda sudah mulai merasa kelelahan dengan tugas rumah. Dengan komunikasi yang baik, tentunya suami akan memahami kondisi istrinya. Dengan demikian, Anda berdua bisa membagi tugas.

Jika ternyata komunikasi tersebut tidak lancar, dan suami tidak juga ingin menolong meringankan pekerjaan Anda, maka tidak ada salahnya Anda datang ke Konselor Pernikahan untuk memecahkan masalah yang ada. Tentu akan aneh jika Anda tidak pernah mengeluh sebelumnya kepada suami lalu tiba-tiba mengajak suami ke Konselor,

Soal omongan keluarga tentang suami, Anda juga tidak perlu terlibat "perang mulut"  dan "sibuk" untuk meyakinkan mereka bahwa apa yang dilakukan suami tidak ada yang salah. Tapi Anda harus ingat, selama Anda masih tinggal bersama keluarga, maka Anda akan menemukan hal-hal seperti ini. Dan tentu saja walau dibiarkan, jika ini terjadi terus-menerus akan juga melelahkan. 

Jika hubungan Anda dekat, maka bisa memberi penjelasan pada orang tua atau kakak untuk menghormati batasan. Bahwa keluarga Anda adalah tanggungjawab Anda dan suami yang menatanya dan meminta mereka dengan sopan untuk tidak perlu ikut campur dengan komentar tidak nyaman yang melebihi batas "teritori" mereka.

Begitu pula dengan ketidaknyamanan suami karena kakak Anda memelihara anjing. Selama suami, istilahnya masih 'nebeng', di rumah keluarga mertua, maka ia tidak punya hak untuk komplain. Dan jika ketidaknyamanan sudah tidak dapat ditoleransi, tentu harus dipikirkan untuk segera mencari tempat tinggal sendiri, karena memang sudah seharusnya seperti itu.

Berbagai masalah akan timbul jika kita masih tinggal satu atap dengan keluarga besar. Sehingga konsep berumahtangga yang benar memang haruslah mandiri. Pria dan Wanita bersatu dalam lembaga pernikahan dan membangun rumah tangga mereka menjadi suatu entitas yang mandiri. Sehingga akan tercipta rumah tangga yang sehat dimana si Suami bisa bertindak dengan perannya sebagai pemimpin rumah tangga dan bersama dengan pendampingnya, sang Istri, bersama mereka menerapkan value-value yang mereka setujui dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia.

Salam Sejahtera,

Elly Nagasaputra, MK, CHt

Marriage Counselor & Hypnotherapist

www.konselingkeluarga.com

www.klinikhipnoterapijakarta.com

- healing hearts -- changing life -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun