Yakin Anda siap bercerai? Sebelum menyesal, lebih baik bicarakan dulu dengan ahlinya.
Masalah Berlarut-larut
 Pertengkaran hebat antara Dewi (43) dan Abi (42) dua minggu lalu akhirnya menjadi puncak kelelahan pasangan suami istri ini akan konflik yang telah menghantui mereka selama ini. Yaitu ketidaksukaan Dewi akan Rinda (30), adik Abi yang telah tinggal bersama mereka lebih dari 10 tahun, karena Rinda belum menikah dan orang tua Rinda sudah tak ada.
Merasa sudah seperti rumah sendiri, Rinda kadang berlaku seperti nyonya rumah. Misalnya, berduaan dengan kekasihnya di ruang keluarga, padahal kedua anak Dewi dan Abi, Tyo dan Ami, yang masih SMP dan SD, sedang nonton tv di ruang yang sama. Biasanya karena risih, mereka akhirnya masuk kamar.
Rinda juga sering memarahi asisten rumah tangga, hingga tak ada yang awet. Ia juga suka pulang malam hari di atas jam 22.00, di saat rumah sudah gelap. Bahkan ia sering merokok di kamar atau di depan keponakannya.
Dewi sudah berulang-ulang meminta Abi menegur adiknya. Namun, meski sudah ditegur, Rinda hanya berubah paling lama sebulan. Setelah itu ia kembali dengan kebiasaannya. Abi, karena jarang di rumah, tidak merasa ada yang salah dengan perilaku Rinda. Ia merasa Dewi hanya berlebihan. Dan akhirnya mereka ribut bahkan tak saling bicara hanya gara-gara Rinda. Dewi lelah karena Abi tak mempercayainya dan Rinda tak menghormatinya.
Kata cerai pun tercetus. Mereka sendiri terkejut. Karena sebenarnya mereka masih saling mencintai. Namun, Abi tak ingin kehilangan adik perempuannya satu-satunya. Di tengah kegalauan ini, Dewi dan Abi pun memutuskan meminta bantuan Konselor Pernikahan. Apakah benar mereka mau bercerai? Apakah masalah ini sudah tak dapat diperbaiki lagi?
Bercerai atau Tidak?
Ada dua jenis klien yang datang ke konselor pernikahan untuk bicara perceraian. Yang pertama adalah klien yang merasa bahwa mereka ingin bercerai, namun masih ragu-ragu. Mereka konseling untuk meyakinkan diri, apakah kondisi rumah tangga memang sudah demikian parahnya hingga sudah perlu bercerai.
Ada yang istrinya sudah siap bercerai, namun suaminya belum mau, atau sebaliknya. Belum ada kesepahaman di antara mereka. Karenanya mereka mencari tahu apakah perceraian benar merupakan opsi terbaik untuk mereka? Seperti yang dialami Dewi dan Abi di atas.
Sehingga karena mereka masih ragu, mereka merasa perlu pendapat ahli yang profesional dan tidak memihak untuk menilai kasus yang mereka alami dan apakah bercerai menjadi sebuah opsi yang tepat.
Yang kedua, adalah pasangan suami istri yang sudah fix bercerai. Yang mereka tanyakan bukanlah 'apakah perceraian pilihan terbaik atau bukan', tapi  bagaimana cara dan apa syaratnya untuk bercerai. Lalu bagaimana cara mengkomunikasikannya ke anak, dan apa yg harus dipersiapkan menghadapi kehidupan setelah perceraian nanti. Â
Kenapa diperlukan Konseling Pra perceraian?
Karena orang jarang sekali yang punya pengalaman bercerai. Rata-rata orang tidak pernah bercerai, dan melakukan sesuatu yang belum pernah, akan membingungkan. Akan banyak pertanyaan yang muncul. Oleh sebab itu mereka harus memaparkan dengan jelas ekpektasi, kekhawatiran dan ketakutan-ketakutannya jika sudah bercerai nanti.
Lalu apa saja yang dibahas? Semuanya. Misalnya, apakah suami dan istri sudah siap secara mental? Bagaimana emosional pasangan? Bagaimana cara merapikan sejarah dan mengelolanya. Jika ada pasangan yang sudah 20 tahun mau bercerai tentulah tidak mudah, dan akan merasa sedih. Bagaimana deal dengan emosi ini, belum lagi bagaimana menghadapi hubungan ini di masa depan karena walau bercerai masih terkait dengan urusan anak.
Tak hanya secara mental dan emosional, Konselor juga akan membantu pasangan siap secara spiritual dan finansial. Seperti yang kita ketahui, proses perceraian akan memakan biaya yang tidak sedikit, apalagi jika dilakukan tanpa persiapan, biasanya proses sidang akan memakan waktu berlarut-larut. Â
Konselor juga akan mengakomodir semua isu yang terkait, dengan berusaha semaksimal mungkin meminimalisasi dampak negatif yang bisa terjadi. Menghindari sebisa mungkin "keributan" yang mungkin terjadi di sidang perceraian.
Pasangan yang akan bercerai memang sebaiknya membicarakan dulu secara detail apa yang akan dihadapi nanti, baik dalam proses perceraian atau setelahnya. Salah satu yang terpenting adalah masalah anak. Bagaimana hak asuh anak  serta relasi ke depannya nanti. Karena biar bagaimanapun, suami isri walaupun sudah bercerai, masih terikat sebagai ayah dan ibu dari anaknya.
Mental anak-anak pun juga harus disiapkan untuk menghadapi kehidupan baru ini. Bagaimana kesiapan psikologis anak untuk hidup tanpa kedua orang tuanya dalam satu atap hingga juga membahas bagaimana menghadapi sikap keluarga besar yang cenderung masih memandang negatif perceraian.
Terutama dampak ke anak tentu harus diantisipasi sebaik mungkin, sehingga kemungkinan anak-anak akan mengalami dampak psikologis yang cukup berat, hingga menganggu emosional dan mental mereka, dapat ditekan serendah mungkin.
Pada dasarnya, tugas konselor adalah meminimalisir ekses negatif yang akan timbul, dan berusaha agar perceraian selesai dengan baik-baik, dan mendapatkan win-win solution untuk kedua belah pihak. Jangan sampai perceraian menjadi getir dan diwarnai keributan, atau berselisih di pengadilan.
Intinya, perceraian bukanlah sesuatu yang diinginkan, bahkan sesuatu yang bisa disebut 'musibah' dalam sebuah rumah tangga. Namun jika memang harus bercerai, hindarilah ugly divorce, yang menyebabkan 'pertempuran', dan sakit hati berkepanjangan di kemudian hari. Lakukan perceraian secara elegan dan bisa mengakomodir ekspektasi kedua belah pihak.
Salam Sejahtera,
Elly Nagasaputra, MK, CHt
Marriage Counselor & Hypnotherapist
www.konselingkeluarga.com
www.klinikhipnoterapijakarta.com
- healing hearts -- changing life -
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI