Walaupun pernikanan Dini (27) dan Rizal (28) sudah berjalan empat tahun dan memiliki dua balita, keduanya masih menetap di rumah orang tua Rizal. Alasannya, selain mereka berdua bekerja dan tidak ada orang yang bisa mengawasi anak-anaknya, Rizal adalah anak tunggal sehingga ia diminta orang tuanya tinggal di rumah tersebut.
Selama ini, Rizal menanggung semua pengeluaran di rumah, mulai dari listrik, biaya hidup sehari-hari, gaji ART, hingga hal lain seperti mengganti barang elektronik yang rusak ataupun perbaikan rumah.
Meski begitu, Dini tidak berani memutuskan sendiri jika ada perubahan dalam rumah. Ia masih harus bertanya pada ibu mertuanya. Seperti mengganti warna cat rumah hingga menambah sofa. Semua Dini lakukan untuk menghormati mertuanya. Toh, pikir Dini, rumah yang mereka tinggali adalah milik mertuanya. Walaupun, tak dipungkiri Dini kerap bermimpi memiliki rumah sendiri yang bisa bebas ia atur.
Selama empat tahun memang tidak ada masalah. Hubungan Dini, suami dan mertuanya berjalan harmonis. Hingga akhirnya Dini memutuskan menyekolahkan anak pertamanya yang baru berusia tiga tahun. Mertuanya melarang keras, karena menganggap cucunya masih terlalu kecil, tidak perlu sekolah dulu. Sedangkan Dini, ingin anaknya bisa mendapatkan pendidikan sejak dini.
Masalah kian meruncing, karena Rizal setuju dengan orang tuanya. Peristiwa tersebut semakin meyakinkan Dini bahwa Rizal adalah sosok pria yang tidak bisa lepas dari orang tuanya.
Pada dasarnya pernikahan adalah unit mandiri yang terdiri dari seorang pria dan wanita. Baik secara emosional maupun finansial. Itu sebabnya sangat tidak disarankan, untuk alasan apapun, pasangan menikah apalagi yang sudah dikaruniai anak, hidup satu rumah dengan orang tua. Membangun rumah tangga, berarti pasangan harus sama-sama 'berani' untuk tinggal sendiri.
Mengapa demikian? Karena ketika dua rumah tangga melebur, dalam hal ini rumah tangga orang tua dan si anak (apalagi jika sudah memiliki anak), suka atau tidak suka bisa saja muncul masalah-masalah baru, baik di antara pasangan maupun dengan pihak luar seperti orang tua, mertua, hingga keluarga besar.
Jika Anda menumpang di rumah orang tua, maka yang memiliki aturan adalah sang pemilik rumah, dalam hal ini orang tua atau mertua. Dalam kondisi seperti ini, akan sulit bagi pasangan untuk menerapkan mengaturan, pola asuh, hingga otoritasnya pada anak. Namanya juga Anda yang 'nebeng', ya Anda harus mengikuti aturan yang ada di rumah tersebut.
Membangun Relasi Sehat
Namun, tak dipungkiri, dalam masyarakat Indonesia, keluarga besar tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keluarga inti. Kita adalah orang Timur yang memiliki adat ketimuran, di mana tingkat kekerabatan itu begitu kental dan tali silaturahmi sangat dijaga. Itu sebabnya, hubungan antara anak yang sudah menikah dengan orang tua dan keluarganya tidak akan putus, masih ada relasi yang sangat erat.
Bahkan ada keluarga yang hubungannya sangat dekat, setiap weekend mereka pulang ke rumah orang tuanya, merayakan momen sukacita seperti makan, ibadah, hingga liburan bersama. Budaya yang seperti ini pada dasarnya perlu kita pelihara sebagai keluarga.
Dalam hubungan yang sehat seperti ini, setiap pihak dalam hal ini suami-istri dan orang tuanya harus memiliki interaksi yang saling memahami dan menghormati. Ada batasan yang cukup jelas, sehingga tidak ada istilah campur tangan.
Karena ketika terjadi konflik dengan keluarga besar, misalnya dengan orang tua atau saudara ipar, urusannya bisa sangat rumit. Jika berada dalam kondisi ini, pasangan harus terbuka membicarakan hal apa yang mengganggu suami atau istri dan segera mencari solusinya.
Namun, jika masalah tak kunjung selesai -mungkin karena kurangnya kemampuan untuk memecahkan masalah atau adanya ego, pasangan harus segera mencari bantuan kepada Konselor rumah tangga kepercayaan. Karena, masalah yang berlarut-larut bisa jadi terus melebar dan meruncing. Tidak hanya antara suami dan istri, tapi juga dengan orang tua atau keluarga besar.
Jika sudah sangat terlambat dan muncul sakit hati di antara pihak yang berselisih, masalahnya akan sulit diselesaikan. Selain itu, kondisi ini hanya akan membuat suami atau istri terjebak dalam kondisi serba salah dan tidak nyaman. Apakah ia harus memihak orang tua dan keluarganya atau pasangannya.
Pada intinya kita harus menciptakan hubungan yang harmonis dengan orang tua, mertua, dan keluarga besar, karena ini akan memberikan keteladanan kepada anak. Dengan konsep tetap menghargai dan tahu batasannya! Hal ini hanya bisa terwujud dengan mudah, jika pasangan memiliki kemandirian dan hidup terpisah dari orang tua atau keluarganya. Ketika hidup bersama, kecenderungannya kita akan mengedepankan toleransi. Tapi toleransi ini sangat lebar batasannya, jika tidak pandai-pandai, yang terjadi justru campur tangan.
Sebagai anak, meminta nasihat orang yang lebih tua adalah hal yang wajar. Atau jika ada yang dirasa kurang tepat orang tua atau mertua bisa ikut memberikan masukan. Yang perlu disadari, masing-masing pihak harus tahu batasannya untuk tidak ikut campur dan memperkeruh suasana. Di sinilah pasangan harus memiliki cara komunikasi yang baik terutama dengan pihak luar dalam hal ini orang tua, mertua, dan keluarga besar.
Dan jika sudah terlanjur keruh dan tidak bisa diselesaikan secara mandiri, maka meminta bantuan  ahlinya merupakan langkah yang tepat. Sering sekali kami melayani konseling dimana yang hadir tidak hanya suami istri tapi juga orang tua dan mertua dari kedua belah pihak. Akan duduk bersama dipandu oleh Konselor Pernikahan yang berpengalaman untuk menemukan solusi yang melegakan dan membahagiakan bagi seluruh pihak yang terlibat.
Sehingga hidup berdampingan dengan seluruh keluarga besar menjadi suatu cita-cita yang dapat terwujud secara mulus dan indah.
Salam Sejahtera,
Elly Nagasaputra, MK, CHt
Marriage Counselor & Hypnotherapist
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H