Perbedaan Berujung Konflik
Terus terang, Dina (33) sudah mulai lelah dengan konfliknya dengan Revo (33) suaminya, yang tak kunjung selesai. Berawal dari kembalinya Dina bekerja setelah putri pertamanya, Avi, sudah berusia 3 tahun.
Bukannya Dina tak ingin mengasuh Avi, tapi ia merasa tidak produktif. Ia tak ingin gelar S2-nya yang ia raih susah payah di Singapura, tak terpakai. Kariernya pun sedang meningkat.
Revo sendiri, memiliki karier yang baik di kantornya. Mereka memang tak kekurangan. Tapi menurut Dina, selain meningkatkan eksistensi diri, apa salahnya ia bekerja lagi menambah income keluarga? Toh, selain pengasuh, kedua orang tua Dina juga tinggal tak jauh dari rumah Dina. Mereka bisa dengan mudah datang jika dibutuhkan.
Meski menyetujuinya, Revo sebenarnya keberatan Dina bekerja kembali. Menurutnya, Avi sebaiknya diasuh oleh ibunya sendiri daripada jadi 'anak baby sitter' di rumah. Jadi tak heran, jika Dina sedang disibukkan pekerjaannya, Revo selalu uring-uringan. Bawaannya marah melulu. Dan itu terjadi sejak 2 tahun lalu.
Karena malas berurusan dengan Revo yang tak pernah ramah kepadanya, Dina pun cuek. Saat di rumah, Dina pun menyibukkan diri bermain dan mengasuh Avi. Setelah Avi tidur, Dina kembali duduk di depan laptop, Revo menonton tv. Alih-alih bercinta, mengobrol akrab saja sudah tak pernah.
Walau kadang Dina ingin bercerita atau mengadu pada Revo bagaimana harinya di kantor saat itu. Dina tahu kalau obrolan mereka akan berakhir pada kemarahan. Bahkan pernah Revo tak segan membentak Dina yang pulang terlalu malam karena harus menghadiri RUPS di kantor. Â
Dina hampir menyerah. Revo sudah seperti orang lain. Kehidupan rumah tangganya yang dingin tanpa cinta namun panas karena amarah, membuat Dina nyaris depresi. Ia tahu, mereka butuh bantuan menyelesaikan konflik ini.
Positif atau Negatif?
Adalah wajar bila hubungan suami istri dilanda konflik, karena setiap manusia pasti berbeda dalam banyak hal, baik karakter, sifat, belum lagi soal keinginan dan harapannya. Dan terjadinya marah dalam relasi suami istri juga sesuatu yang wajar. Apalagi marah adalah salah satu bentuk emosi yang diciptakan Tuhan untuk manusia.
Namun, konflik dan amarah adalah dua hal berbeda. Konflik adalah pertentangan atau perselisihan antara dua pihak. Sedangkan marah adalah perasaan sangat tidak senang hingga gusar atau berang. Karenanya, konflik yang disertai amarah akan berakibat buruk pada hubungan suami istri. Apalagi dengan amarah yang sudah di luar batas dan tidak dapat terkontrol. Karenanya, sudah semestinya sebuah keluarga memahami bagaimana meredakan, bahkan mencegah konflik, sebelum akhirnya menimbulkan amarah.
Pengaruh konflik dalam rumah tangga bisa positif dan negatif. Konflik dengan solusi yang tepat, akan meningkatnya kedekatan suami istri. Kita jadi lebih mengenal pasangan. Apa yang ia sukai dan tidak. Bisa dijadikan ajang belajar.
Namun, konflik bisa jadi negatif bila diungkapkan dengan tidak tepat, misalnya lewat amarah yang berlebihan, membabi buta dan tidak terkontrol dan ditambah pula dengan bumbu yang tidak semestinya yaitu caci maki dan kata-kata tidak pantas lainnya. Sehingga terjadilah verbal abuse hingga physical abuse (kekerasan fisik atau KDRT). Akibat konflik negatif ini, cinta dalam rumah tangga bisa terkikis, menimbulkan rasa sedih, dan hambar. Bagaikan lingkaran setan.
Lalu bagaimana agar konflik tidak berkembang menjadi hal yang negatif karena kemarahan yang tak tertahan? Yang pertama kali harus dilakukan adalah mengendalikan kemarahan tersebut. Jika selama ini sulit mengontrolnya, sebaiknya kita mengikuti konseling anger management. Dengan begitu, ketika berhadapan dengan konflik, khususnya dengan teman hidup, kita bisa bersikap lebih tenang dan terkendali,dan diharapkan pencarian solusi akan lebih smooth dan konflik berakhir positif.
Level konfik yang tinggi, apalagi yang disertai kemarahan terus menerus, menyebabkan muncul rasa malas bertemu dengan pasangan, karena kalau ketemu pasti bertengkar. Dan jika konflik terjadi terus menerus tanpa ada solusi, maka suami istri akan sampai pada tahap tidak ingin konflik lagi. Ini adalah kondisi berbahaya karena sudah ada rasa 'percuma'. Berbicara satu sama lain sudah malas, menghindar jika bertemu, atau malas berdua saja dalam satu ruangan, cinta pun sudah hilang entah kemana.
Kondisi ini tentu saja membawa pengaruh yang sangat negatif, pasangan merasa jenuh dan bosan dengan pernikahannya, cintanya sudah terkikis, pernikahan sudah diujung tanduk. Masing-masing pihak sudah berpikir mengenai perceraian atau mencari orang ketiga untuk menghibur diri mereka.
Jika memang merasa sulit terlepas dari konflik disertai amarah yang berkepanjangan ini, sebaiknya bersama pasangan, Anda berkonsultasi pada Konselor Pernikahan (Marriage Counselor). Sebelum nasi menjadi bubur, sebelum Anda merasa pernikahan Anda sudah tidak bisa lagi diselamatkan.
Salam Sejahtera,
Elly Nagasaputra, MK, CHt
Marriage Counselor & Hypnotherapist
www.klinikhipnoterapijakarta.com
- Healing hearts – changing life -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H