Mohon tunggu...
Sone Awan
Sone Awan Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa Prodi Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam Universitas Pelita Bangsa

Nama Saya Sone Awan saat ini saya sedang menjalankan perkuliahan di Prodi Bimbingan dan Konseling Islam Universitas Pelita Bangsa. Tak ada yang bisa menjadi lebih baik selain dengan belajar. Saat ini saya masih belajar tentang blog pribadi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Leuit Asal Sunda Masih Ada di Tanah Bekasi

7 September 2024   17:45 Diperbarui: 7 September 2024   18:09 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kegiatan KKN tepat sebulan yang lalu kami di tempatkan di Desa yang bernama Cilangkara yang berlokasi di Kecamatan Serang Baru Kabupaten Bekasi. kondisi desa Cilangkara masih dikatakan asri karena masih banyak pepohonan dan pesawahan. Saya pikir di Bekasi yang status daerahnya sebagai dàerah transisi sudah kehilangan kearifan lokalnya karena tergerus oleh perkembangan zaman. Namun nampaknya masih ada suatu peninggalan kearifan lokal yang harus tetap dilestarikan.

Desa cilangkara sendiri secara arti kebahasaan memiliki arti Ci dalam bahasa Sunda yang artinya cai/air, langkara yang memiliki arti langka atau mustahil. Jadi Cilangakara memiliki arti langka/mustahil air. Hal ini juga bisa dilihat dari kondisi geografis desa yang tidak memiliki irigasi.  Dan sempat berdiskusi dengan penduduk desa dari mana mereka mengandalkan air untuk pertanian ? Mereka mengatakan bahwa kami mengandalkan air hanya dari air hujan dan air bor serta air kobak bekas penggalian batu bata. 

Pada suatu waktu kami berkeliling di desa Cilangkara untuk soan kepada masyarakat dan agar kami bisa lebih mendapatkan informasi tentang desa. Saat itu saya berpisah dengan teman-teman sendirian untuk mencari budaya kearifan lokal yang masih bertahan di desa Cilangkara. Dalam perjalanan itu akhirnya saya menemukan Leuit yang merupakan warisan peninggalan leluhur Sunda.

Leuit adalah suatu tempat penyimpanan padi khas orang-orang Sunda yang ditinggalkan secara turun temurun. Leuit sendiri berfungsi sebagai tempat stok padi, dan menjaga padi dari basah karena air hujan atau banjir dan bisa menjaga dari hama seperti tikus. Leuit di bangun dengan tembok yang terbuat dari bahan bilik, mengapa bilik ? karena bilik dapat membantu sirkulasi udara yang ada di dalam leuit. Ini adalah karya seni arsitektur orang-orang pada zaman dahulu. Bahkan peneliti dari Universitas Gajah Mada menyimpulkan bahwa padi yang disimpan di dalam Leuit bisa bertahan selama 50-100 tahun.

Saat itu saya bertemu dengan pemilik Leuit yang bernama Abah H. Hanan. Beliau sampai saat ini masih memakai Leuit itu untuk keperluannya menyimpan padi dan tetap melestarikan peninggalan leluhurnya. Kemudian saya meminta izin untuk mengadakan sosialisasi tentang Leuit ini kepada Abah H. Hanan, dan beliau setuju dan mengizinkan saya untuk mengadakan acara sosialisasi Leuit ini di rumahnya.

Kemudian saya dan teman-teman KKN merencanakan acara tentang Sosialisai Leuit. Teman-teman setuju dengan acara tersebut dan akhirnya kami berjuang mengadakan acara tersebut. Ada sedikit tantangan dalam sosialisasi ini karena kita kesulitan untuk mendatangkan masyarakat, kemudian kami mengambil jalan lain dengan mengajak anak-anak. Dan akhirnya anak-anak pun berdatangan, terlebih kita menyediakan dorprize untuk yang telah datang. 

Alhamdulillah acara tersebut dihadiri oleh Pak RT, Pak RW, anak-anak tentunya dan Ibu-ibu di sekitar rumah Abah H. Hanan. Acara diawali dengan sambutan ketua KKN, sambutan Pak RW dan Pak RT. dan acara inti yaitu  sosialisasi tentang Leuit ini yang diisi oleh saya sendiri. 

Saat itu saya membuka dengan menjelaskan teori tentang leuit ini. Dan saya merasa karena saya hanya paham teorinya saja,maka saya rasa pemilik leuit lah yang lebih paham tentang penggunaan dan fungsi leuit tersebut. Akhirnya saya mengajak Abah H. Hanan untuk ke depan, dan alhamdulillah beliau bisa menjelaskan tentang leuit tersebut.

Beberapa pertanyaan seperti kenapa leuit ini dibangun dengan sistem panggung ? Abah H. Hanan menjawab karena untuk menghindarkan rembesnya padi dari banjir yang dihasilkan oleh hujan. Kemudian berapa biaya yang perlu dikeluarkan untuk membangun leuit ? Beliau menjawab sekitar 5 jutaan. Dan kami pun bertanya berapa lama padi ini bisa bertahan jika di simpan dalam leuit, sayangnya beliau tidak tahu karena ketika padi di masukan ke dalam leuit, beliau langsung menjualnya. 

Berbeda memang dengan orang zaman dahulu yang menyimpan padi untuk kebutuhan sehari-harinnya, bukan untuk dijual seperti yang terjadi di suku Baduy Banten. Setelah wawancara itu kami menutup acara dengan berbagi dorprize kepada ibu-ibu dan anak-anak bagi yang bisa menjawab pertanyaan tentang leuit ini.

Di daerah Bekasi yang statusnya adalah kota industri, kota yang salah satu industri terbesar di Indonesia yang jika dilihat-lihat akan menjadi sebuah daerah yang maju perkembangannya. Masih ada masyarakat yang tetap konsisten menjaga kearifan lokal peninggalan leluhurnya. Hal semacam ini justru bukan dihilingkan, tapi harus kita dukung untuk menjaga kelestariannya. Mendukung dengan tetap menjaga budaya mereka dan selalu menghormati nilai-nilai yang diyakini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun