Setelah Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan secara serentak pada 17 April 2019 lalu, yang diikuti oleh dua calon Presiden dan calon wakil presiden, yaitu pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amien, kemudian pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiga Uno. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi kubu 01 (Kolisi Indonesia Kerja) yakni; Partai PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai PKB, Partai PPP, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai PSI, Partai Perindo, Partai PKPI, Partai PBB. Koalisi kubu 02 (Koalisi Indonesia Adil Makmur) Partai Gerindra, Partai PAN, Partai PKS, Partai Demokrat dan Partai Berkarya. Dapat dilihat bahwa terdapat beberapa partai -pada pemilu 2014 masih dengan  petarung pilpres yang sama- yang dulunya berada dalam koalisi permanen prabowo kemudian pada pemilu kemarin ramai-ramai menyatakan berada dalam koalisi Jokowi.
Setelah hasil pilpres 2019 diumumkan secara resmi, banyak tersiar kabar berita yang menyebutkan bahwa kubu oposisi yang kalah rupanya menjadi rentan dan terpecah. Beberapa partai pengusung Prabowo bahkan mereka menyatakan akan meninggalkan koalisi Prabowo dan bergabung dalam pemerintahan Jokowi. Hal ini mencerminkan bahwa dengan bergabungnya partai oposisi ke dalam petahana, partai hanya memburu kekuasaan dan ingin mendapatkan jatah kursi saja. Padahal dalam sistem pemerintahan semestinya harus dijalankan dengan konsep check and balance.
Dari sinilah oposisi dan kedaulatan rakyat menemukan relevansi. Ketika pemerintah mulai menjalankan sistem pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat, melalui oposisilah rakyat menyampaikan aspirasinya. Karena tidak jarang pemerintahan yang mengatas namakan kedaulatan rakyat justru pemerintah sendirilah yang menjauhi kedaulatan rakyat tersebut, karena terlibat kepentingan  pribadi maupun kepentingan partai politik itu sendiri.
Sehingga perlu terbentuknya suatu kekuatan di luar pemerintahan yang bertugas sebagai pengawasan dan penyeimbang (check and balance) bagi jalannya pemerintahan baik ranah eksekutif ataupun legislative, dan turut menjaga bahwa kedaulatan rakyat tetap ada dan berfungsi. Selain itu, oposisi dalam konteks partisipasi merupakan representatif dari kebebasan rakyat untuk melakukan respon dan kritik atas kebijakan pemerintah agar tetap berada dalam kepentingan rakyat. Tanpa oposisi demokrasi hanyalah sebuah sistem yang berjalan satu kaki.
Melalui konsep check and balance inilah yang pada akhirnya diharapkan akan adanya saling kontrol dan menyeimbangkan ini, tiap-tiap cabang kekuasaan tidak bekerja semata hanya sekadar dan sesuai dengan kepentingannya. Â Dalam konteks politik, khususnya dalam kehidupan demokrasi, terdapat beberapa fungsi utama oposisi. Pertama, sebagai penyeimbang kekuasaan. Kedua, menjaga alternatif penyempuranaan atas kebijakan pemerintah. ketiga, sebagai stimulus persaingan yang sehat di antara para elite politik dan pemerintahan.
Bergabungnya beberapa partai politik pengusung Prabowo pada pemilu 2019 ke dalam jajaran pemerintahan menjadi salah satu bukti nyata akan situasi oposisi yang secara substansi juga dapat dikatakan masih lemah. Tidak adanya komitmen partai-partai yang tergabung dalam koalisi oposisi sehingga ketika calon pasangan capres dan cawapres yang mereka usung kalah, mereka langsung membelot masuk dalam koalisi pemerintah untuk mendapatkan kursi bagian (kekuasaan). Hal tersebut tentu saja sangat disayangkan, ketika partai politik yang seharusnnya sebagai kendaran politik rakyat untuk menyampaikan aspirasi (mengedepankan kepetingan rakyat) malah kocar-kacir bergabung dalam pemerintahan hanya untuk mendapatkan kekuasaan.
Melihat situasi yang sedang terjadi saat ini, seperti yang terlihat dalam media massa yang memberitakan mengenai kegencaran Prabowo yang sowan sana sini hampir semua partai politik yang tergabung dalam koalis pemerintah ia sambangi dan tersiarnya kabar akan bergabungnya partai Gerindra dalam pemerintah, ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam oposisi dan menguatnya pemerintahan dengan berbagai kepentingan partai politik. Rupanya hanya PKS saja yang dengan lantang menyatakan diri akan tetap sebagai partai oposisi. Sepertina peran oposisi lebih banyak dimainkan oleh kalangan-kalangan nonpartai dan --akan lebih kuat-- di ekstra parlemen, yang sayangnya bersifat sporadik dan tidak benar-benar dapat dijadikan barometer kontrol terhadap pemerintahan yang efektif.
Bila kita ulas kembali peran dan keberadaan oposisi di Indonesia, nampaknya keberadaan oposisi di Indonesia masih belum terlalu kuat. Dari masa Orde lama sampai masa Orde Baru dan masa Transisi, oposisi masih belum nampak pergerakannya. Mulai terlihat pada masa pemerintahan Gus Dur, ketika Gus Dur sering melakukan reshuffle mentri-mentri dengan orang terdekatnya, barulah terlihat pergerakan oposisi, hal ini terlihat dalam pergerakannya -yang dilakukan oleh partai-partai yang tergabung dalam oposisi- melalui usaha untuk menggoyangkan kursi Gus Dur. Setelah Gus Dur lengser dan berganti dengan Megawati, oposisi meredup lagi. Ketika pemerintahan SBY oposisi mulai tehat kembali, ini tercermin dalam kritik-kritik yang sering kali PDI-P (selaku partai oposisi) lontarkan pada pemerintahan SBY.
Suara oposisi makin lantang pada masa era kepemimpinan Jokowi. Dimana pada saat itu Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo. Pada saat itu kelompok oposisi juga membentuk Koalisi Merah Politik. Koalisi ini sangat gencar dalam mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi. Namun, sangat di sayangkan pada Kabinet jilid II, era kepemiminan Jokowi, nampaknya koalisi pemerintah akan semakin gemuk dibandingkan koalisi oposisi. Oposisi mestilah kuat karna dalam sistem pemerintahan sangat perlu pihak yang menjadi pengawas jalannya pemerintahan, ketika pemerintah dan wakil rakyat mulai tidak pada jalan rakyat. Itulah mengapa proses check and balance menjadi sangat penting dalam proses berjalannya pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H