Ditambah isu monopoli, korupsi, dan birokrasi di Pertamina, menjadikan pemerintah lebih menyetujui keterlibatan Pertamina yang terbatas. Di dalam tubuh Pertamina sendiri, kita bisa bertanya, bagaimana blok-blok migas yang katanya diakusisi Pertamina tidak berimbas apa-apa terhadap produk gas yang dihasilkan.
Menaikan harga gas dengan disertai kejujuran untuk membuka semua persoalan yang menjadikan persoalan bahan bakar sebegitu kacau, saya kira akan lebih produktif bagi kita semua. Dengan cara membuka isu-isu penting di seputar migas adalah juga cara untuk mengajak khalayak banyak untuk membicarakan kepentingan mereka sendiri. Cara menaikan LPG jenis tertentu, membandingkan dengan produk dalam kategori jenis yang berbeda, atau menimpakan beban kerugian dan subsidi sebagai kambing hitam, adalah cara Karen Agustiawan untuk memecah dan menjauhkan perhatian khalayak.
Di tingkat masyarakat kecil, mereka hanya mampu berpikir untuk menerapkan teknologi diri supaya kehidupan mereka tidak lebih menderita. Berhemat menggunakan gas, mencari produk yang lebih murah, beralih ke kayu bakar, mencari tambahan penghasilan, memaklumi harga tempe ikut naik, mereka hanya mampu pada rekadaya semacam itu. Mereka tidak mampu menunjuk para biang kerok naiknya gas, karena kehadiran pemerintah semakin lama terlihat semakin remang-remang. Apalagi untuk membicarakan kebijakan migas yang terus menerus berada di ruang-ruang wakil-wakil masyarakat, yang keberpihakan kepada masyarakat tak sampai 17%. Alhasil, salah kelola ini kemudian secara-semena-mena ditutupi dan diperbandingkan dengan isu rokok, yang tentu saja sebagai perbandingan tidak apple-to-apple alias salah kapah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI