Awal tahun 2014, dengan alasan kerugian yang dialami, Pertamina menaikan harga gas kemasan 12 kilogram. Kita boleh pura-pura terkejut dengan kenaikan ini. Meski toh kita sudah tahu harga gas bakal naik, entah itu kemasan tabung 12 kilogram atau 3 kilogram. Kita juga boleh berpura-pura menanggapi dengan serius lagak orang-orang di pemerintahan yang terkaget-kaget, prihatin, menggelar rapat terbatas, dan kemudian menggelar jumpa pers.
Bagi saya, fakta-fakta yang diungkap di seputar kenaikan harga gas di awal tahun ini bukanlah hal baru. Fakta bahwa Pertamina diberi kewenangan menaikan harga gas, fakta Pertamina merugi, fakta bahwa sebagian besar gas yang dihasilkan justru dijual keluar negeri, atau fakta bahwa nantinya kenaikan yang sebenarnya adalah cuma seribu perak. Fakta-fakta itu diketahui pejabat negara, termasuk pengelola Pertamina.
Demi kepentingan pertunjukan dagelan yang sukses, para badut itu harus pura-pura menunjukan bahwa fakta-fakta itu baru mereka sadari belakangan ini. Belajar dari infotainmen, rekayasa bisa dilakukan demi mendapatkan sorotan publik. Jika infotainment merekayasa demi popularitas dan mendapatkan tawaran manggung, para pejabat itu ingin disorot demi terlihat bekerja dan berpihak pada rakyat banyak.
Masih belum lengkap, Direktur Pertamina masih menumpahkan keheranannya dengan reaksi masyarakat terkait dengan kenaikan harga LPG. Dalam menanggapi wartawan yang menanyakan alasan kebijakan menaikan harga LPG 12 kilogram, Karen Agustiawan memberikan pernyataan yang cukup emosional. Pernyataaan yang dimaksud adalah ketika dia menyebut bahwa seharusnya kenaikan harga LPG 12 kilogram itu tidak menimbulkan gejolak, dikarenakan konsumen barang ini hanya 17 persen dari keseluruhan pengguna gas LPG di Indonesia.
Ditambah, bahwa 17 persen konsumen itu adalah orang-orang yang berpunya, yang mampu membeli HP dan pulsa. Dengan argumen yang demikian, menurut sang Direktur Pertamina itu, gejolak harga sudah seharusnya tidak menimbulkan gejolak. Karen ingin menyatakan, bahwa Pertamina tidak berdaya untuk memberikan kesejahteraan hidup pada rakyatnya. Karena itu, rakyatlah yang harus berkorban untuk kebijakan menaikan harga gas.
Harapan Karen Agustiawan adalah dengan masyarakat mengurangi pembelian pulsa dan telepon seluler, 17% golongan konsumen tersebut tidak perlu mendapatkan efek buruk kenaikan harga gas. Jika asumsinya demikian, kenapa harga 12 kilogram gas tidak 1 juta rupiah sekalian, karena toh para pembelinya adalah juga orang-orang yang mampu membeli sepeda motor dan mobil. Meski harus dikoreksi, bahwa gas sebagai kebutuhan pokok sudah seharusnya tidak terus menerus menjadi beban rakyat, jika dikatakan negara ingin mensejahterakan rakyatnya.
Apa jadinya jika harga kebutuhan pokok dihitung dengan kebutuhan sekunder atau bahkan tersier? Itu kalau benar bahwa para pengguna gas kemasan 12 kilogram berhemat, bagaimana jika para konsumen beralih ke produk yang lebih murah? Jika para konsumen gas LPG 12 kilogram kemudian beralih pada gas kemasan 3 kilogram, itu berarti bahwa Pertamina ikut andil dalam kembali menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tak berhenti dengan menimpakan beban kenaikan gas kepada daya beli konsumen, sang Direktur Pertamina masih menambah komentar aneh lainnya, jika harga LPG naik rakyat ribut, tetapi kenapa kenaikan harga rokok selama ini tidak menimbulkan protes dari konsumennya? Saya tidak yakin, apakah benar kenaikan harga rokok tidak pernah menjengkelkan konsumennya. Yang saya tahu, gas harus tetap dibeli berapapun harganya. Paska konversi minyak tanah ke gas, menjadikan gas sebagai kebutuhan pokok. Cara dan teknologi memasak berubah mengikuti konversi itu. Karenanya, naiknya gas akan menjadikan kesulitan pada cara sebagian besar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Sementara, kenaikan harga rokok masih bisa disiasati dengan mencari produk yang lebih murah, mengurangi konsumsi, atau berhenti merokok sama sekali. Belum lagi, perbandingan antara rokok dengan gas adalah seperti membandingkan jenis barang dengan produk. Gas adalah produk bahan bakar, dan rokok adalah jenis produk. Artinya jika ingin mengambil kategori, bandingkanlah rokok dengan bahan bakar. Bandingkanlah kenaikan harga gas dengan kenaikan harga rokok merek tertentu.
Yang lebih menggelikan sebenarnya adalah bagaimana rokok bisa ditarik-tarik untuk membenarkan amburadulnya pengelolaan gas. Rokok bukanlah barang kebutuhan pokok, kenaikan terhadap rokok tidak akan diikuti oleh kenaikan harga air mineral atau harga makanan di restoran, pun tidak ada pembelian rokok pada variable perhitungan upah minimum yang dituntut oleh buruh. Rokok disebut oleh karen karena rokok adalah sasaran paling empuk untuk dijadikan kambing hitam.
Mungkin karena menginginkan dukungan bagi kebijakannya akan bertambah dengan banyaknya orang yang anti terhadap rokok. Sebagai industri, rokok mempunyai rantai ekonomi yang panjang. Mulai dari tenaga tukang cangkul, penjual pupuk, petani, pedagang tembakau, pembuat keranjang, pabrik, rokok, dan banyak lagi. Kenaikan harga gas lebih untuk mengurangi kerugian yang dialami Pertamina, Â dengan kata lain mengobati kerusakan sistematis yang dijalankan oleh negara. Sementara, kenaikan cukai rokok adalah cara pemerintah untuk mendapatkan tambahan pemasukan, meski kita bisa mempertanyakan pengelolaan dana cukai rokok.
Apa yang dilakukan karena ingin rakyat banyak tidak mempersoalkan bagaimana sebuah negara dengan alam yang begitu kaya, tetapi pemerintahnya selalu merugi dalam memenuhi kebutuhan dasar masyakatnya. Secara normatif, kekayaan gas bumi seharusnya menjadi anugerah bagi rakyatnya. Faktanya, Pertamina berada pada posisi yang serba terbatas, salah satunya juga dibatasi oleh pemerintahnya sendiri. Jika kita ingat kembali, setiap Pertamina ingin mengelola sebuah ladang minyak atau gas temuan baru, pesimisme terhadap kemampuan Pertamina akan mengemuka, yang berakhir pada gagalnya Pertamina mengelola blok migas.