Kemandirian ini termasuk melawan kemalasan belajar, kesombongan atas anggapan pribadi bahwa pengalamannya sudah luas, hingga keegoisan yang menganggap dirinya sudah mempunyai kekuasaan dengan jabatan tinggi di tempat kerja. Â Ketiganya perlahan akan hilang ditelan usia.Â
Kemalasan menjadikannya berhenti belajar untuk mengikuti perkembangan jaman dan menutup diri pada pengetahuan baru, sedangkan kekuasaan karena jabatan tinggi akan hilang karena usai pensiun. Hanya ilmu pengetahuan yang tidak hilang ditelan waktu.Â
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan melatih seorang komunikator untuk lebih mudah berpikir. Dari proses berpikir akan terbiasa mengamati perkembangan jaman, dan pada kenyataannya, kebiasaan mengamati perkembangan jaman membuatnya mahir untuk menemukan jawaban saat bertemu dengan permasalahan dalam kehidupan.
Tidak ada istilah bagi seorang komunikator untuk kehabisan jawaban saat berbicara di depan umum. Komunikator juga tidak lantas berdiam diri saat dihadapkan pada pertanyaan dari orang lain. Memang benar menjadi seorang komunikator selalu berhadapan dengan dilema sepanjang hidupnya. Serba salah!
Selama menjadi seorang komunikator, penulis selalu berhadapan dengan ketidaksempurnaan. Mulai dari jawaban yang dianggap Sebagian orang terlalu luas, jawaban yang menyinggung perasaan, hingga jawaban yang terlalu keras bagi komunikan berhati lembut.Â
Untuk itu, dengan proses belajar terus menerus membawa keegoisan menjadi keterbukaan dan lapang dada, sehingga jawaban yang semula dirasakan berat untuk keluar dari mulut, pada akhirnya jawaban tersebut secara otomatis dapat keluar dari mulut untuk menjawab pertanyaan yang diajukan orang lain.
Komunikator itu harus mencerdaskan komunikannya. Bukan lagi kewajiban tetapi sebuah tugas dan tanggung jawab moral untuk membimbing komunikannya meraih kesuksesan dalam kehidupan mereka. Â Alangkah lebih mulia jika seorang komunikator melanjutkan sekolah untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru bagi hidupnya.Â
Apalagi saat ini makin banyak tersedia sarana dan fasilitas pendidikan dengan harga yang terjangkau. Kemudahan mengakses informasi melalui media dalam jaringan (internet) menambah kecepatan belajar bagi seorang komunikator.
Seorang komunikator juga perlu mengetahui perkembangan jaman serta mengikuti keinginan pasar. Mereka harus terus menerus melihat sekaligus mengamati perkembangan jaman, terutama di era digital. Komunikator yang pandai bicara rasanya tidak cukup karena masyarakat tampaknya sudah bosan dengan buaian teori-teori kehidupan, mereka lebih cenderung melihat bukti berupa praktik nyata untuk mengubah hidup. Solusi dari permasalahan kehidupan menjadi tolok ukur untuk menilai kehebatan seorang komunikator. Bahkan, ucapan komunikator akan dibalikkan padanya bila ucapan mereka dirasakan tidak sesuai dengan perilakunya dalam kehidupan.
Misalkan, seorang komunikator berceramah soal pentingnya pendidikan. Sementara itu, sang komunikator hanya sekolah sampai jenjang sekolah menengah atas atau cukup di jenjang sarjana. Pendengarnya mungkin berpendapat bahwa sang komunikator sibuk sehingga tidak sempat sekolah lagi. Namun, saat pendengarnya mengetahui bahwa sang komunikator hanya pandai bicara, maka wibawanya akan langsung sirna.
Untuk itu, seorang komunikator harus menuntut dirinya terus menerus belajar pada jenjang lebih tinggi. Tujuannya supaya saat dia menyinggung soal pendidikan, maka figurnya secara otomatis dijadikan contoh oleh semua pendengar. Figur sang komunikator langsung mendapatkan apresiasi sebagai sang inspirator bagi para pendengarnya. Bukankah begitu baik?