Mohon tunggu...
Liona Aprisof
Liona Aprisof Mohon Tunggu... -

'Perempuan bersama buku, film, alam dan cinta.'

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Mana Bintang Bersembunyi Ketika Siang?

1 Agustus 2011   03:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya satu bintang yang dapat kubanggakan di atas sana. Yang paling bersinar terang tentunya.Sedangkan bintang yang lainnya, paling hanya mampir saja di pelupuk mataku.Aku pernah mengajak bintang-bintang itu bercengkerama.Tetapi mereka ternyata angkuh. Sekalipun sapaku tak pernah dihiraukan. Sampai hari ini, aku tidak pernah melihat salah satu bintang yang bertaburan jatuh ke bumi. Mungkin benar, itu hanya terjadi di film-film saja.

Malam ini

Lagi-lagi aku terlalu berlebihan

Mengharapkanmu mampir di mimpiku …

Tuhan belum mengizinkan

Ata umemang aku tidak akan diberi sesuatu yang aku inginkan ???

Cobalah kaupaksakan, dirimubisa hadirdihadapanku

Dan aku tidakakan pernah ragu dengan doa …

“Lihat ?”

“Apa?” aku balik bertanya.

Bayu menghela nafas. Kwalahan mungkin mengahadapiku. Siapa suruh bertanya ketika aku lagi asyik membaca novel. Duniaku sejenak terasa terganggu. Padahal aku sudah mulai masuk ke dalam cerita dari novel yang kubaca.

“Ah…sini!” Dia berusaha merebut novel.

“Dimana bintang bersembunyi ketika siang?” tanyaku.

Ya…aku sedang kesal. Bayu terdiam. Akupun juga. Kalau nada suara sudah meninggi seperti ini, susah untuk aku jelaskan bagaimana keadaannya. Bayu sudah tidak berhak lagi menggangguku. Bukankah dia sudah memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan denganku. Artinya, dia harus menjauh dariku. Mungkin ini mudah baginya. Menyatakan perasaan, mencoba meyakinkanku bahwa dia sangat membutuhkan kehadiranku, lalu mulai menjalani hubungan, memutuskan hubungan. Sakitnya, dia mampu bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

“Kamu udah makan?”

Aku hanya diam.

“Mau jus melon gak ta?Hauskan? Bayu beliin yah.”

“Aku mau pulang,”jawabku.

“Kalo gitu Bayu antar.”tanggapnya langsung.

Aku kaget. Dia hanya tersenyum santai. Senyumnya tak terlalu menyegarkan. Bahkan terlihat seperti  monster di mataku. Kumasukkan novel ke dalam tas, lalu dengan cepat aku berlari meninggalkannya. Seisi kelas melihat tingkah kekanak-kanakkanku. Bayu tak mengejar. Yang aku tahu, dia hanya teriak memanggil namaku. Mita!!!

“Bayu,”seorang laki-laki tiba-tiba mengulurkan tangannya padaku. Aku tak menerima tawaran perkenalannya.

“Kemaren, waktu hari pertama kuliah, aku juga melakukan hal yang sama. Bedanya, aku berkenalan dengan perempuan Muslim,” terangnya.

“Aku muslim.” Aku merespon pembicaraannya dengan tegas.

“Kok gak ada selendangnya?”

“Selendang?Jilbab maksudnya?”

Dia mengangguk.

“Ya…aku gak pake,” ungkapku dengan nada pelan.

“Ini untuk kedua kalinya uluran tangan perkenalanku tak disambut, tepatnya dengan dua orang perempuan Muslim. Namaku Bayu. Aku baru di kota ini. Agamaku Katolik. Salam kenal.”

Aku bukan perempuan yang cengeng. Ketika ditinggalkan seseorang, lantas memilih untuk menangis, tak bisa lagi peduli dengan aktivitas sehari-hari. TIDAK. Aku bukan perempuan seperti itu.Kali ini ceritanya berbeda. Aku sudah kuliah. Aku semakin dewasa. Tetapi ini caraku untuk menunjukkan siapa aku.Keegoisanku menolak jika seseorang seperti aku disia-siakan begitu saja. SiapaDIA ?

Kerlipannya bersahaja

Aku sungguh terpesona

Sayang, aku hanya bisa melihatmu ketika gelap

Jika memang kau tercipta

Untuk menghadirkan suasana romantis dunia

Lalu dimana kau bersembunyi ketika siang?

Bintang,

Aku bukan merayumu

Atau

Mau menunjukkan sisi melankolis dari diriku

Aku hanya membutuhkanmu

Tuhan dengar doaku …

“Lihat?”

Bayu mengejutkanku.

“Aku pikir kita perlu bicara,”ungkapnya sambil menyodorkan jus melon kesukaannya padaku. Ketika jatuh cinta, kesukaan orang lain akan menjadi kesukaanmu.

“Bayu,” Aku tak percaya masih bisa memanggil namanya.

Dia melihatku. Kali ini serius. Tak ada senyuman. Kali ini tulus. Teduh kulihat matanya. Kali ini aku menundukkan pandanganku. Inilah yang seharusnya kulakukan dari dulu. Mengapa harus dengan jalan menyakitkan dulu, aku baru bisa mengerti.

“Semalaman aku menangis,” ungkapnya.

“Menangis?”Aku khawatir mendengar ucapannya.

“Jika aku dilahirkan sebagai seorang Muslim. Hari ini aku akan tetap menemanimu, berdiskusi dengan mereka, mencari keberadaan Tuhan, bertanya tentang kehidupan, dan mengerti bahwa bintang memang seharusnya bersembunyi ketika siang hari. Mau kamu apakan kehadiran matahari?”

Jantungku berdegup. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Ilmu dari buku-buku yang kubaca seperti tak ada gunanya. Aku benar-benar kehilangan kendali. Aku menangis. Seorang saudara “berharap” di depanku.

“Bisa berteman denganmu. Bahkan bisa merasakan diistimewakan olehmu adalahs esuatu yang baik bagiku. Bukankah kamu sudah semakin dewasa? Bisa mengerti tentang perasaan, bagaimana aku tetap memperlakukanmu dengan baik. Hanya saja kita tidak terikat dengan aturan pergaulan.Namanya tidakpacaran.”

Aku malu. Aku benar-benar malu. Kesombonganku pecah jadi sesuatu yang lebih menyakitkan. Dia bicara, karena mungkin sudah muak dengan tingkahku.

“Maaf,”aku mulai bicara.

“Mita, aku menyatakan perasaan, karena memang itulah yang aku rasakan. Aku terus meyakinkanmu bahwa aku membutuhkanmu, karena aku butuh teman sepertimu, dimana aku bebas bertanya tentang apa saja yang aku mau. Tanpa takut, aku akan dianggap kafir. Menjalani semuanya denganmu, aku sudah merasa dalam kesesatan dunia.Tetapi aku puas?Akhirnya menjadi seorang manusia. Dan….,”

“Mengapa jalan seperti ini yang kamu pilih???”tanyaku padanya. Air mataku terus mengalir.

Bayu menghampiriku lebih dekat.

“Aku menghormatimu,”

“Lalu kenapa kamu tidak menjauh dariku?” suaraku serak.

“Agar kau tak lagi bertanya, dimana bintang bersembunyi ketika siang,”ungkapnya mengakhiri air mataku.

Tak apa kau tak jatuh

Dengan sinarmu saja sudah lebih dari cukup …

“Lihat?”

Bayu tersenyum.

“Ya, aku melihatnya,”

Aku tersenyum.

Tuhan memang sudah mengaturnya…Wallahualam.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun